Mataram - Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan hukum. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Omar Sharif Hiariej mengatakan untuk mewujudkan negara hukum yang berlandaskan Pancasila, memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergi, komprehensif, dan dinamis, melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah khususnya di bidang hukum pidana adalah dengan melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
"RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda", ujar Eddy saat memberikan keynote speech pada acara "Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," Kamis (27/05/21) di Golden Palace Hotel, Mataram.
Perkembangan hukum pidana yang tidak sesuai dengan dinamika masyarakat inilah yang mengakibatkan pembaruan dan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu segera dilakukan.
Selain rekodifikasi yang mencakup konsolidasi serta sinkronisasi peraturan hukum pidana, pembaruan RUU KUHP juga diarahkan sebagai upaya harmonisasi, yaitu dengan menyesuaikan KUHP terhadap perkembangan hukum pidana yang bersifat universal dan upaya modernisasi, yaitu dengan mengubah filosofi pembalasan klasik yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata, menjadi filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan korban kejahatan.
"Adanya RUU KUHP ini dapat menghasilkan hukum pidana nasional dengan paradigma modern, tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi berorientasi pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif," kata Wamenkumham.
Berbagai pro dan kontra yang muncul terhadap RUU KUHP ini terjadi karena berbagai persepsi dan kepentingan yang ada di masyarakat.
"Tidaklah mudah bagi negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan," ucap Eddy.
Atas dasar tersebut, Pemerintah membuka ruang diskusi dengan berbagai elemen masyarakat untuk menghimpun masukan, menyamakan persepsi, dan sebagai pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan serta melibatkan masyarakat.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. Dr. Benny Riyanto, mengatakan bahwa diskusi publik terkait RUU KUHP ini diharapkan dapat menjelaskan dan menampung aspirasi masyarakat untuk pembangunan hukum nasional.
"Semoga diskusi publik ke-10 ini dapat menjelaskan poin-poin mengenai RUU KUHP yang masih bias di masyarakat, sehingga terjadi persamaan persepsi," kata Benny. "Selain itu, diskusi ini juga diharapkan dapat menampung berbagai aspirasi sebagai bentuk nyata kontribusi masyarakat terhadap pembangunan hukum di Indonesia," tutupnya. (Safira, foto: Fajar)