Jakarta – Ada dua hal menarik yang tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Dua hal tersebut yakni asas kepastian dan keadilan. Menurut Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antar Lembaga, Dhahana Putra, asas keadilan belum termaktub ke dalam KUHP saat ini.
“RUU KUHP itu pendekatannya dua perspektif, kepastian dan keadilan. Pada saat ada suatu case (kasus), walaupun itu ada di norma, ada di pasal, tapi tidak menunjukkan keadilan, maka hakim memprioritaskan nilai-nilai keadilan,” kata Dhahana saat menjadi narasumber dalam Dialog Interaktif "Indonesia Menyapa" dengan RRI Pro 3.
Lebih lanjut Dhahana menjelaskan, keadilan itu menjadi suatu nilai yang hakiki dalam konteks yang ada pada RUU KUHP. Contohnya ada seorang ibu yang mencuri singkong untuk memenuhi kebutuhannya karena lapar. Akan tetapi hakim memutus dia untuk dipidana penjara. Ibu itu kemudian menuntut, dimana rasa keadilannya, hanya karena mencuri singkong mengapa dapat dikenakan hukuman bui.
“Itulah kalau pendekatan KUHP sekarang ya seperti itu, (kena) pidana dia. Dia mau rentan, dia nggak punya uang lah, pokoknya kalau sudah perbuatan pidana, sanksinya penjara. Nah ini menjadi suatu soal kan,” katanya, Selasa (25/05/2021) siang.
“Maka pada saat bicara kasus orang yang mengambil (mencuri) singkong, mengambil sandal jepit, hanya ‘kepastian’ dikedepankan. Tapi kalau RUU KUHP ini pendekatan ‘keadilan’, dan hakim bisa memerintahkan tidak perlu pidana penjara,” ujar Dhahana yang membawakan materi dengan tema “Perkembangan Penyusunan RUU KUHP".
RUU KUHP dinilai Dhahana sejalan dengan konsep pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Pemasyarakatan memberikan ruang kepada si pelaku untuk memperbaiki diri, memberikan suatu tanggung jawab, juga meningkatkan pengetahuan atau keterampilan baginya supaya dapat berguna di masyarakat kelak.
“Jadi kalau kita lihat antara KUHP yang sekarang ini dengan pemasyarakatan tidak sinkron. Yang satu (KUHP) pendekatannya ‘perbuatan’, yang satu (RUU KUHP) terkait ‘pembinaan narapidana’ atau treatment of offenders,” jelas mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini.
RUU KUHP disusun dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu rekodifikasi terbuka, demokratisasi, dan modernisasi. Pada rekodifikasi terbuka, KUHP mengalami perubahan karena kondisi filosofisnya tidak lagi sesuai dengan Pancasila, sosiologis, maupun yuridisnya.
“Kedua adalah demokratisasi. Pada saat Indonesia merdeka, demokrasi menjadi suatu pilar utama. Jadi itu pun juga harus disesuaikan dengan hukum pidana kita,” kata Dhahana. “Terbukti dengan adanya penghormatan hak asasi manusia. Itu pun juga diadopsi menjadi kriteria terhadap situasi yang ada di RUU KUHP,” jelasnya.
Selanjutnya adalah modernisasi. Karena ini warisan kolonial, kata Dhahana, kita ingin membuat sistem hukum yang sesuai dengan nafas Indonesia, sesuai dengan Pancasila, konstitusi, adab di Indonesia, prinsip hukum, hak asasi manusia, dan tentunya harmonisasi.
“Karena kalau kita bicara KUHP yang sekarang ini, jika bagaikan rumah, itu sudah banyak bolong-bolongnya, sudah banyak bocor-bocornya, mungkin nggak sesuai lagi dengan nilai Pancasila, hak asasi manusia,” kata pria 52 tahun ini di Gedung RRI, Jl. Medan Merdeka Barat No.4-5, Jakarta Pusat.
“Dengan kondisi KUHP saat ini, maka kita perlu memiliki KUHP nasional yang sesuai dengan nilai Pancasila, konstitusi, hak asasi manusia, pun juga prinsip-prinsip hukum yang ada di masyarakat,” pungkasnya. (Tedy, foto: Reza)