Jakarta – Program Legislasi Nasional (Prolegnas) memiliki fungsi yang sangat strategis. Prolegnas merupakan pedoman dan pengendali dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Belajar dari tahun 2016, Prolegnas Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2017 harus memiliki kriteria mendasar, yaitu aspek kebutuhan, bukan keinginan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan prolegnas tidak saja akan menghasilkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk membantu tugas umum pemerintahan dan pembangunan, sesuai amanat dasar UUD 1945 dan sistem perencanaan pembangunan nasional, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus globalisasi.
Di tahun 2016, dari 40 RUU Prioritas yang telah disepakati, serta tambahan 10 RUU tambahan hasil evaluasi, sampai dengan bulan Agustus 2016 baru 12 RUU yang sudah disahkan. Hasil ini seyogyanya menjadi bahan evaluasi bagi DPD, DPR, dan Pemerintah dalam penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2017.
“Jadi kalau kita melihat daftar yang ada, baik dalam list panjang kita di RPJM tahun 2015-2019, maupun prioritas tahun 2015-2016, kita ini dalam ungkapan ‘Nafsu besar tenaga kurang’. Sangat jauh dari harapan,” tandas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly dalam Rapat Pembahasan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2017 bersama anggota DPR di kantor DPD RI, Jakarta, Rabu (31/08/2016).
Menurut Menkumham, perlu pengklasifikasian RUU dalam kerangka menentukan RUU yang menjadi prioritas. Perlu penegasan dari masing-masing lembaga untuk menyepakati bahwa RUU yang diusulkan menjadi prioritas, harus memiliki urgensi serta telah dilengkapi dengan Naskah Akademik dan Draf RUU. “Sehingga pelaksanaan pembahasan RUU dapat segera dilakukan dan diselesaikan,” ucap Yasonna.
Upaya pemilihan RUU Prioritas Tahun 2017 harus diikuti dengan cara mereview, atau mengukur relevansi suatu RUU dengan kriteria-kriteria yang mendasar. Salah satunya aspek kebutuhan, kebutuhan kita yang penting, bukan semata-mata karena keinginan. “Diharapkan daftar RUU dalam prolegnas merupakan hasil analisis dan asesmen terhadap kebutuhan real akan sebuah undang-undang,” ucap Yasonna.
Selain itu, kualitas regulasi di Indonesia saat ini belum sepenuhnya berjalan dengan kebutuhan global. Hal ini terbukti dengan banyaknya keluhan investor terhadap hukum di Indonesia yang dipandang belum berkepastian, karena masih ada inkonsistensi antar peraturan. “Peringkat ease of doing business (EODB) Indonesia tergolong sangat rendah, masih di peringkat 109, jauh di bawah negara tetangga Malaysia yang masuk peringkat 18, dan Singapura peringkat pertama,” ungkap Menkumham.
Keinginan Presiden Jokowi meningkatkan peringkat EODB ke peringkat 40. Kita sudah melakukan deregulasi dalam banyak hal, tetapi ini membutuhkan kesungguhan kita semua. Concern pemerintah dalam pembentukan produk hukum saat ini adalah memangkas produk-produk hukum yang menimbulkan hambatan kemudahan berusaha. Sudah saatnya kita belajar menerapkan good regulatory practises dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Korea Selatan sudah menerapkan ini sejak krisis ekonomi pada tahun 1997. Oleh karena itu produk regulasi Korea sangat kondusif, bagi iklim investasi. Kuantitasnya selalu diimbangi dengan kualitas.”Tidak ada kata terlambat bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan regulasi,” tutur Yasonna.
Komitmen pemerintah untuk memangkas peraturan yang menghambat telah dilakukan oleh Kemenkumham. Melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang terus menganalisis, dan mengevaluasi seluruh peraturan yang ada di tingkat pusat, dengan berkoordinasi bersama kementerian/lembaga.
Di lingkungan pemerintah, penyusunan daftar RUU Prioritas tahun 2017 sudah memperhatikan rencana kerja pemerintah tahun 2017, sebagai penjabaran dari tahap ke tiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yang telah ditetapkan dalam peraturan Presiden nomor 45 tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. “Titik berat RKP adalah penegakan hukum, pembangunan insfrastruktur dan ekonomi guna meningkatkan kesempatan kerja, serta menanggulangi kemiskinan, dan kesenjangan antar wilayah,” jelas Menkumham.
Menkumham mengajak seluruh anggota DPD RI untuk melakukan perubahan konsep dalam menyusun RUU Prioritas Tahun 2017. “Marilah kita bangun pemahaman bersama untuk merekonseptualisasi prolegnas yang lebih berkualitas, lebih terencana, serta mempunyai visi yang lebih jelas, yang diikuti dengan target yang rasional, yang memungkinkan dapat kita capai,” ajak Yasonna.
Tentunya perbaikan ini harus dilakukan secara komprehensif dan sinergis dengan berbagai pihak, termasuk DPD, DPR, dan pemerintah. “Diharapkan perancangan UU yang baik, akan menghasilkan produk UU yang baik, tidak hanya berkualitas, akan tetapi memiliki daya guna dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional, khususnya penguatan penegakan hukum, pembangunan, dan ekonomi,” kata Yasonna.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Baiq Diyah Ratu Genefi ini, seluruh anggota DPD RI yang hadir mengamini apa yang disampaikan oleh Menkumham. Memang masih perlu perbaikan dan evaluasi kinerja dalam Prolegnas RUU Prioritas, dan perlunya sinergi antara DPD, DPR, dan Pemerintah dalam membuat produk hukum.
Anggota DPD RI perwakilan dari Banten, Ahmad Subadri mengatakan, jika proses legislasi kita masih memajukan, membahas, dan menetapkan sebuah produk hukum atas dasar keinginan, harapan kita untuk lebih baik sangat sulit. Kemudian mengenai peraturan daerah (perda) yang bermasalah, mungkin perlu dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah daerah dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). “MoU untuk membantu agar tidak ada peraturan daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya,” ujar Subadri.
Hal senada juga disampaikan Abdul Kadir Amirantono, anggota DPD RI dari Jawa Timur. Dalam membuat kebijakan legislatif produk peraturan perundang-undangan, kita harus memikirkan nasib bangsa ini, bukan banyaknya keinginan, atau daftar angan-angan kita untuk membuat Undang-Undang. “Banyaknya UU yang dihasilkan tidak menjadikan kita dapat semakin berwibawa, tapi bagaimana kita dapat menghasilkan produk-produk yang bermanfaat dan berarti bagi masyarakat,” tandas Abdul Kadir yang sering disapa dengan panggilan Guston.
Kemudian Guston juga berharap agar DPD, DPR, dan Pemerintah dapat bersinergi, serta Kanwil Kemenkumham untuk bersama-sama bisa melakukan fungsi pengawasan sesuai dengan UU. “Supaya hasil legislasi di daerah tidak tumpang tindih dan membingungkan masyarakat dalam implementasinya,” ucap Guston.
Menanggapi pernyataan tersebut, Menkumham menyatakan siap melakukan kerja sama, bahkan di beberapa daerah telah menjalin kerja sama, dengan menyepakati MoU antara pemerintah daerah dan Kanwil Kemenkumham. “Kemenkumham telah menyiapkan dua orang tenaga penyusun dan perancang perundang-undangan (suncang) di tiap kanwil, bila tenaga suncang di daerah kurang, tenaga suncang yang ada di pusat akan dikirim ke daerah yang membutuhkan,” jelas Menkumham. (Zaka. Ed: TMM. Foto: Zaka)