Jakarta – Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) bidang sosial politik dan keamanan Haru Tamtomo didampingi dua orang Staf Ahli Menkumham lainnya menerima kunjungan dari Political Officer Kedutaan Besar Amerika Serikat, Moulik D. Berkana, di Ruang Saharjo Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM (Setjen Kemenkumham), Jum’at (20/2/2015).
Pertemuan tersebut bermaksud untuk mensosialisasikan hasil Konferensi Penanggulangan Kekerasan Ekstrimisme (White House Summit on Counter Violent Extrimism) yang diselenggarakan oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Konferensi yang berlangsung di Gedung Putih Washington D.C., tanggal 17 sampai dengan 19 Februari 2015 lalu, dihadiri oleh para pejabat penting dari beberapa delegasi negara, yang salah satunya termasuk delegasi Indonesia, yang diwakili oleh Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Amerika Serikat dan mantan Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar.
Berkana menyampaikan bahwa latar belakang diselenggarakannya konferensi tersebut karena mengamati isu kekerasan yang berkembang secara global yang semakin berkembang di berbagai negara di dunia, seperti Suriah, Irak, Perancis, Australia, Denmark, dan lain-lain. “Pemerintah Amerika Serikat memandang bahwa penanggulangan tindak kekerasan dan ekstrimisme ini bukan hanya kepentingan negara Amerika serikat saja, tetapi juga merupakan kepentingan bersama seluruh negara,” kata Berkana.
Lebih lanjut Berkana mengatakan bahwa, Pemerintah AS mengundang para pejabat penting negara lain untuk bediskusi serta berbagi pemikiran untuk menemukan solusi atas akar masalah kekerasan tesebut ataupun kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan secara global, contohnya semakin meluasnya aksi gerakan ISIS di negara Timur Tengah.
Dalam Konferensi tersebut Presiden Obama secara tegas menyampaikan sikapnya bahwa, Amerika Serikat tidak berperang melawan agama, tetapi berperang dengan orang yang menggunakan agama. Saat ini Amerika Serikat tengah membuat sebuah Pilot Program penanggulangan gerakan kekerasan atau ekstrimisme di 3 (tiga) kota besar Amerika Serikat yaitu Boston, Los Angeles dan Minneapolis. Program itu menggandeng pihak-pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh agama, masyarakat, dan para pemuda, yang bertujuan untuk mencegah berkembangnya paham-paham kekerasan.
Disamping itu Berkana juga menyampaikan beberapa pertanyaan yaitu, bagaimana peran Kemenkumham dalam upaya penanggulangan terorisme? Apakah akan ada perubahan regulasi terkait masalah terorisme sejalan dengan berkembangnya permasalahan gerakan ISIS? Bagaimana situasi dan kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) saat ini? Mengingat Lapas tersebut berada di bawah kewenangan Kemenkumham.
Atas pertanyaan tersebut Para staf Ahli yang diwakili oleh Haru menyampaikan bahwa, negara Indonesia dalam masa Pemerintahan Presiden Jokowi memiliki visi misi pemerintah yang tertuang dalam “Nawacita”. Salah satunya menyatakan bahwa negara harus hadir dalam kepentingan masyarakat. Bentuknya berupa regulasi atau peraturan perundang-undangan.
Kemenkumham memilki peran strategis dalam proses legislasi tersebut. Jika ada keinginan untuk melakukan perubahan mengenai peraturan perundang-perundangan terkait terorisme, Kemenkumham akan memfasilitasinya dengan inisiatif perubahan yang diusulkan dari instansi yang memiliki kewenangan atas permasalahan terorisme, yaitu BNPT dan POLRI.
Kemudian, Kemenkumham juga memiliki tugas dan fungsi di dalam sistem tata peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) bersama Polri, Kejakgung RI, Mahkamah Agung dan Kemenkumham yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas).
“Perlu saya sampaikan bahwa narapidana kasus terorisme yang telah dibina oleh Ditjen Pas hingga saat ini berjumlah 264 orang yang tersebar di 27 Lembaga Pemasyarakatan seluruh Indonesia. Kemenkumham juga telah menjalin kerjasama dengan beberap institusi antara lain BNPT, Densus 88, Satgas Anti Teror, Kejakgung RI dan LSM yang bergerak di bidang tersebut, seperti Yayasan Prasati Perdamaian , Common Ground, dan lain-lain,” ujar Haru.
Beberapa permasalahan yang masih dirasakan dalam pembinaan narapidana kasus terorisme ini antara lain, kurangnya pemahaman petugas Lembaga Pemasyarakatan mengenai metode pembinaannya. Kemudian, masih bercampurnya penempatan narapidana kasus terorisme dengan kasus kriminal umum. Keterbatasan sarana pengamanan yang standar serta jaminan perlindungan terhadap petugas Lapas dan keluarganya.
Menutup pertemuan tersebut, Haru Tamtomo juga menyampaikan upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan Capacity Building bagi para petugas Lapas, menyusun pola pembinaan bagi narapidana teroris, serta upaya untuk membangun Lapas Khusus bagi terorisme ke depannya.
Turut Hadir dalam pertemuan ini tim dari Biro Humas dan KLN, yaitu Kabag Informasi dan Komunikasi, Kabag Kerjasama Luar Negeri Biro Humas dan KLN, dan rombongan delegasi Kedubes AS. (reynaldi, foto: Zeqi, ed. TMM)