Jakarta - Persoalan pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS) tak semudah membalik telapak tangan. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menilai diperlukan pembahasan yang mendalam dan lebih cermat lagi terkait persoalan tersebut, karena topik ini tak hanya berbicara tentang kemanusiaan, melainkan juga berkaitan dengan finansial dan sistem hukum yang ada.
“Ketika berbicara terkait pengangkatan (tenaga) honorer menjadi PNS, ini kita perlu membahas lebih mendalam dan cermat lagi,” kata Edward atau yang lebih dikenal dengan nama Eddy Hiariej ini. “Karena ini tidak hanya persoalan human (kemanusiaan) semata, tetapi berkaitan dengan finansial dan sistem hukum secara keseluruhan,” tambah Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.
Eddy, saat mewakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi II DPR RI bersama dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo; Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian; dan Direktur Jenderal Anggaran, Askolani, yang mewakili Menteri Keuangan, mengatakan akan membahas persoalan ini secara lebih mendalam lagi pada rapat selanjutnya.
“Jadi karena ini baru rapat pertama, (rapat) selanjutnya akan lebih mendalam lagi pada tingkatan pansus,” ujar Eddy di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Senin (18/01/2021) pagi.
Raker ini membahas lima agenda, yang merupakan inisiatif DPR RI atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kelima agenda tersebut yakni Penghapusan Komisi ASN (KASN), Penetapan Kebutuhan PNS, Kesejahteraan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Pengurangan ASN, dan Pengangkatan Tenaga Honorer.
Sebelumnya Tjahjo Kumolo mengatakan, selain penghapusan KASN, empat poin dalam agenda rapat tersebut merupakan domain dari pemerintah yang bisa secara dinamis mengikuti perkembangan yang ada.
“Secara prinsip, kami ingin menyampaikan bahwa pemerintah masih terus berupaya menindaklanjuti amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, antara lain dengan PP Nomor 11 Tahun 2017 jo Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, dan peraturan pelaksanaan lain dalam rangka mewujudkan sistem merit,” ujar Tjahjo.
“Upaya untuk menerapkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN sangat dibutuhkan pemerintah dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Maju (2019–2024) yang fokus pada lima prioritas kerja pemerintah,” ujarnya lagi.
Tito Karnavian saat memberikan pendapatnya menyatakan mendukung apa yang telah disampaikan oleh Tjahjo Kumolo.
“Beberapa hal yang mungkin kiranya menjadi pertimbangan ke depan adalah harmonisasi dengan UU yang lain, misalnya UU tentang pemerintahan daerah, UU misalnya tentang Otsus Papua,” kata Tito.
Sementara itu, Askolani menyatakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, semangatnya adalah untuk meningkatkan produktivitas dari PNS. Kemudian, lanjutnya, kita juga harus mempertimbangkan mengenai kesetaraan kualitas ASN kita untuk kemajuan Indonesia ke depan.
“Tentunya juga harus mempertimbangkan mengenai keseimbangan pembangunan kita dan kemampuan dari APBN kita,” kata Askolani. “Jadi tentunya pemerintah melihat usulan masukan dari Bapak Ibu sekalian (Komisi II DPR RI) bisa menjadi bahan untuk pengambilan kebijakan di pemerintah,” tambahnya.
Sedangkan menurut Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, ada beberapa poin yang masih menjadi perbedaan, dan nantinya akan dibahas lebih lanjut.
“Jadi nanti kita tunggu agenda berikutnya adalah daftar inventaris masalah (DIM) dari pemerintah, yang sudah kita jadwalkan akan diserahkan tanggal 28 Januari mendatang,” ujar Doli. “Setelah itu nanti kita akan rapat membahas dan membentuk Panja, untuk membahas RUU ini secara lebih dalam, lebih komprehensif, dan kemudian kita usulkan jadi UU,” tutupnya. (Tedy, Bowo, foto: Dudi)