Jakarta – Perlakuan terhadap pelaku tindak pidana di Indonesia sejak tahun 1964 telah mengalami perubahan paradigma. Dari sistem kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan. Sistem kepenjaraan mengedepankan pembalasan dan penjeraan.
Sistem pemayarakatan lebih mengedepankan pembinaan, agar narapidana kembali ke jalan yang benar dan mampu berkontribusi sebagai warga negara yang baik di tengah-tengah masyarakat. Terdapat filosofi reintegrasi sosial di dalam sistem pemasyarakatan.
"Churchill menyatakan ukuran untuk dapat disebut sebagai masyarakat beradab/ berbudaya dapat dilihat dari bagaimana negara memperlakukan orang yang dituduh melakukan kejahatan," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, yang menyampaikan pokok pikirannya sebagai keynote speaker pada acara Seminar Nasional Pemberian Hak Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi WBP Pelaku Tindak Pidana Khusus, di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Kamis (12/3/2015).
Namun kenyataanya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang berbasis reintegrasi sosial berseberangan dengan kepentingan penghukuman dan penjeraan bagi pelanggar hukum tindak pidana tertentu. Wujud nyatanya adalah adanya tuntutan perlakuan yang bersifat menjerakan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Hal tersebut diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP dimaksud memberikan pembatasan atas hak-hak WBP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kondisi ini membuat Pemasyarakatan berdiri pada dua kaki. Sebagian WBP diperkenankan menggunakan sistem pemidanaan pemasyarakatan. Sebagian lainnya menggunakan sistem pemidanaan lama, yaitu sistem kepenjaraan. Menkumham mengatakan, "Hal ini melemahkan hukum kita. Terjadi diskriminasi yang bertentangan dengan azas Pemasyarakatan yang tercantum di Pasal 5 UU Pemasyarakatan, yaitu azas persamaan perlakuan dan pelayanan."
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Pemasyarakatan sebagai pelaksana putusan pengadilan untuk membina dan membimbing narapidana agar dapat diterima masyarakat. Instansi penegak hukum memiliki peran dan fungsi masing-masing. Kepolisian melakukan penyidikan, kejaksaan melakukan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyidik kasus narkotika. Pengadilan yang mengvonis atau memutuskan suatu perkara. "Penghukuman terhadap pelaku tindak pidana berakhir saat hakim memberikan vonis. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang membina," ujar Yasonna.
Pemberian hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) selama menjalani masa pidana, selain sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, juga sebagai upaya pemicu yang dapat memotivasi untuk senantiasa berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan yang diberikan. WBP yang mendapat hak-haknya mampu menyadari kesalahan, menyesali perbuatan yang pernah dilakukan, dan pada akhirnya tidak akan mengulangi pelanggaran hukum kembali.
"Pelanggar hukum/ terpidana sebagai seorang anggota masyarakat yang berada dalam status hukum khusus. Perbuatannya meretakkan hubungan dengan masyarakat. Napi perlu dipulihkan agar tidak mengulangi tindak pidana lagi," ucap Yasonna.
Di akhir penjelasannya, Menkumham berharap peserta Seminar dapat melahirkan ide dan gagasan konstruktif untuk menemukan formula penyelesaian permasalahan perbedaan persepsi mengenai implementasi UU Nomor 12 Tahun 1995. Turut hadir Staf Ahli Menkumham, para pejabat Eselon I dan II Kemenkumham, Hakim Agung Mahkamah Agung Gayus Lumbuun, Ketua Yayasan UKI, Rektor UKI, mahasiswa dan undangan lainnya. (TMM, foto: Dudi)