Jakarta - Arah kebijakan Presiden Jokowi dalam mereformasi hukum adalah untuk mensinergikan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkepastian hukum serta menguatkan daya saing indonesia secara global. Saat ini hukum Indonesia masih dihadapkan pada penataan materi hukum dalam mewujudkan perundang-undangan yang tertib, responsif serta mampu menghadapi tantangan global. Berkaitan hal tersebut Presiden telah mengintruksikan kepada instansi dan penegak hukum untuk membuat cetak biru mengenai reformasi hukum Indonesia. Hal tersebut disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham) Yasonna H. Laoly dalam pidato penutupan pada acara Seminar Pembangunan Hukum Nasional di ruang Birawa Hotel Bidakara, 6/10/2016.
Menurut Mekumham, kualitas regulasi saat ini belum sepenuhnya sejalan dengan kebijakan pemerintah dan kebutuhan global. Hal ini terbukti masih banyaknya keluhan investor tentang hukum di Indonesia yang masih dipandang belum berkepastian hukum karena masih ada inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan serta dalam pelaksanaan dan penegakkan hukumnya.
“Kita perlu mengadakan perubahan pada UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang rencananya akan segera di ajukan sebagai prioritas tahun 2017” Ujar Menkumham.
Saat ini, peraturan perundang-undangan yang ada masih terdapat multitafsir, disharmoni, serta tidak sinkronnya antara peraturan satu dengan yang lain serta belum responsif terhadap kebijakan pembangunan, menkumham telah meminta kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) agar membuat kajian dan evaluasi tentang peraturan perundang-undangan yang ada.
“Koordinasi dan komunikasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan masih belum maksimal karena masih adanya ego sektoral dari masing-masing kementerian”, tambah Menkumham. Lebih lanjut menkumham menekankan dalam pidatonya bahwa, kualitas undang-undang lebih penting dari pada kuantitasnya. Seluruh kementerian harus mampu berkoordinasi antar lintas kementerian dan lembaga untuk membahas peraturan perundang-undangan yang ada dan meninggalkan ego sektoral.
Membangun sinergitas menjadi kata kunci untuk meminimalisir ego atau kepentingan sektoral. Harus ada persepsi bahwa peraturan perundang-undangan ini adalah milik negara dan harus berorientasi kepada kepentingan negara. Harmonisasi satu pintu (one gate policy) sangat penting untuk mencegah ego sektoral. Dalam hal ini Kemenkumham menjadi leading sektor yang mengkombinasikan melalui Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dan BPHN dari tahap awal naskah akademis dan pembahasannya harus lintas sektoral.
Diakhir pidatonya menkumham memberikan beberapa catatan yang perlu dibenahi adalah pengaturan yang tegas tentang hirarki pembentukan perundang-undangan, memberi kejelasan kewenangan kementerian dan lembaga non kementerian dalam pembentukan Undang-Undang, perumusan harmonisasi dan penjelasan tentang pembentukan peraturan daerah.
Seminar yang bertema Konstelasi politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini dihadiri berbagai kalangan dengan narasumber diantaranya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof Dr. Widodo Eka Cahyana, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf dan Prof. Supratman Andi Agus.
Sebelumnya, Kepala BPHN, Siti Nurbaningsih menyampaikan satu rekomendasi dari pembahasan-pembahasan yang telah dihasilkan yaitu perlunya mempertegas pancasila harus diterapkan sebagai dasar pengharmonisasian dan pengevaluasian peraturan perundang-undangan, penataan perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan, pengaturan pengharmonisasian peraturan perundang undangan dalam skala yg lebih luas dan terintegrasi, sinkronisasi UU No 12 tahun 2011 dengan UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, menindak lanjuti putusan MK No 92 PUU No 10 tahun 2012 , aturan dan ketentuan mengenai evaluasi peraturan perundang-undangan, dan penguatan kelembagaan dalam hal ini kemenkumham sebagai leading sektor dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan diberikan kewenagnan peran yang kuat sampai tingkat daerah. (Komar, Yatno, Foto: Dudi).