Jakarta - Kehadiran media sosial sebagai media baru, membuat kita dijejali ratusan atau bahkan ribuan informasi. Kita tidak lagi dilanda gelombang informasi, tetapi tsunami informasi. Namun sayangnya, masifnya informasi tersebut tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital yang baik dari kebanyakan masyarakat Indonesia, bahkan cenderung memicu lahirnya disinformasi dan hoaks yang tinggi
Berdasarkan peringkat UNESCO, kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yaitu 0,001 persen. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly mengatakan interaksi masif di media sosial, belum dibarengi dengan kemampuan analisa dan kecermatan dalam memilah informasi.
“(Kemampuan literasi) ini membuat analisisnya (informasi) masih sangat rendah,” kata Yasonna. “Literasi digital menjadi penting untuk ditingkatkan,” katanya saat memberikan keynote speech dengan tema “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Media Sosial” pada kegiatan Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2021.
Kemampuan literasi di sini bukan berarti kemampuan membaca semata. Karena kalau sekedar membaca, kata Yasonna, 90 persen lebih orang Indonesia sudah melek huruf. Tetapi literasi yang dimaksud di sini adalah kemampuan membaca secara kritis, menganalisa, membandingkan dengan sumber lain kemudian melakukan keputusan.
“Akibat kemampuan literasi yang rendah, tidak semua netizen mampu menganalisa konten-konten yang bertebaran di media sosial, apakah hoaks atau hak,” ujar menkumham di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tanpa klarifikasi, orang dengan mudahnya menyebarkan postingan yang ada. Akibatnya, masyarakat dicekoki informasi yang tidak benar. Klarifikasi, jika ada, selalu terlambat dan responnya tidak sebesar terhadap info sesat yang telah disebar sebelumnya.
“Ini menjadi bukti bahwa dalam dunia yang serba terkoneksi, kecepatan menjadi lebih menentukan daripada kebenaran, dan pendapat pribadi dari seseorang yang tak dikenal bisa menjadi sumber penting walau itu terbukti salah,” jelas Yasonna.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menkumham, Edward O.S. Hiariej menjelaskan bahwa media mainstream memiliki kelebihan karena komunikasi dan informasi yang disajikan lebih akurat, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Namun demikian untuk memberikan informasi yang akurat, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan tentu memerlukan proses dan waktu yang lebih panjang,” ujar pria yang akrab disapa Eddy ini, Kamis (04/02/2021) siang.
Sedangkan di sisi lain, lanjutnya, media-media sosial hadir dengan kecepatannya dalam menghasilkan dan menyebarkan suatu informasi.
“Namun berita bohong atau yang kita kenal dengan istilah hoaks demikian maraknya berasal dari media-media sosial,” ujar lelaki kelahiran Ambon tersebut.
Selain Eddy, seminar nasional ini juga menghadirkan tiga orang narasumber lainnya, yaitu Staf Ahli Ketua Umum PWI Wina Armada, CEO JPNN Auri Jaya, dan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun. (Tedy, foto: Aji, Yatno)