Jakarta - Masifnya penggunaan internet di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, selain memberikan nilai positif, juga memberikan ekses negatif yang tak kalah berbahaya. Saat ini setidaknya ada minimal 160 juta orang Indonesia yang mengakses media sosial melalui smart phone. Dalam media maya, kebenaran dan kebohongan sukar dibedakan. Inilah era dimana media sosial menjadi disrupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Fakta dan fiksi sukar dipilah. Bermaksud menyebar hak, yang terjadi justru menyebar hoaks,” ucap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly saat memberikan keynote speech dalam kegiatan Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2021.
Akibatnya kita sering mendengar perpecahan terjadi di tengah bangsa kita karena informasi yang disebar melalui media sosial. Dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka sengaja menciptakan misleading atau penyesatan informasi, sehingga tercipta disinformasi.
“Ke depan, literasi digital harus menjadi bagian dari pendidikan masyarakat. Indonesia punya program smart city. Smart city akan menciptakan smart people,” ujar Yasonna. “Smart city tidak dinilai dari seberapa banyak warganya yang memegang smart phone, tapi dilihat dari partisipasi positif apa yang bisa dilakukan warganya lewat teknologi,” sambungnya lagi.
Sementara itu, Wina Armada Sukardi, Ahli Pers dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang hadir pada kesempatan ini sebagai narasumber, mengungkapkan ada banyak dampak dari disrupsi digital di bidang pers.
“Sekarang ini muncul kekaburan status pers atau bukan, muncul kekaburan mana karya jurnalistik dan bukan, muncul kekaburan batas kemerdekaan pers yang perlu dilindungi dan kebebasan berekspresi umum,” kata Wina, Kamis (04/02/2021) siang.
“Dampak disrupsi digital di bidang pers juga memudahkan membuat berita palsu, hoaks, dan fitnah, kemudian kehidupan pribadi lebih sering diterobos, dan muncul banyak ketidakjelasan dalam regulasi,” jelas pakar etika pers dan hukum pers ini di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dampak disrupsi digital juga melanda terhadap pelaksanaan pers. Wina menjelaskan, saat ini perbedaan ruang publik dan ruang pribadi menjadi tipis, karena terjadi pergeseran pengertian orang terkenal.
“Bahkan cenderung tercampuradukkan antara ruang fakta, opini, dan komersial, serta tumpang tindihnya kode etik jurnalistik dan kode etik sosial,” tutupnya.
Selain Wina, seminar nasional yang diselenggarakan atas kerja sama antara Kemenkumham dengan PWI juga menghadirkan tiga orang narasumber lainnya, yaitu Wakil Menkumham Edward O.S. Hiariej, CEO JPNN Auri Jaya, dan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun. (Tedy, foto: Aji, Yatno)