Jakarta - Maraknya penyebaran kabar bohong atau hoaks, beredarnya fitnah, dan rendahnya literasi digital, merupakan ancaman nyata bahaya dari disrupsi media sosial. Di sisi lain, permasalahan tersebut juga menimbulkan tantangan bagi media-media mainstream untuk bangkit dari keterpurukan akibat rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat.
"Media mainstream harus mampu berbenah sekaligus membuka diri dan introspeksi terhadap berbagai strategi yang telah diambil, baik konten berita, metode penyampaian, layout pemberitaan, maupun marketing-nya," ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly saat membuka kegiatan Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2021.
Yasonna mengatakan orang memilih media sosial dan menjadikannya sebagai media alternatif, karena mereka melihat media mainstream telah memonopoli kebenaran dan merekayasa peristiwa. Mereka berpaling pada hal-hal lebih genuine (murni), lebih atraktif, lebih tanggap, dan lebih mengena dengan kebutuhan mereka.
Di samping itu, lanjut Yasonna, banyak warganet sebenarnya tahu bahwa informasi yang dia baca kebenarannya diragukan, atau bahkan salah. Namun tetap saja ia menyebarkannya. Atau, ketika dia sadar bahwa informasi yang disebarkannya salah dan menemukan klarifikasi, dia enggan menyebar klarifikasi tersebut.
"Ini yang sering menjadi persoalan kita," ucap menteri dalam keynote speech-nya yang bertemakan “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Media Sosial”.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya orang tidak ingin membaca atau menyebar kebenaran, melainkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya. Kondisi tersebut yang kemudian diyakini sebagai kebenaran. Inilah era post-truth dimana kebenaran bukan lagi sesuatu yang sesuai dengan fakta, melainkan sesuatu yang sesuai dengan selera pilihannya.
Yasonna kemudian memaparkan sejarah praktek manipulasi kebohongan dalam dunia modern sebagai salah satu strategi peperangan. Adalah Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Nazi, yang pertama kali secara sistematis menerapkan strategi ini. Goebbels menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak dan sesering mungkin. Hal tersebut terus menerus dilakukan hingga kebohongan dianggap sebagai suatu kebenaran.
"Goebbels menciptakan praktek komunikasi sesat yang digunakan oleh banyak orang saat ini dengan lebih dahsyat, karena menggunakan platform dunia digital," kata Laoly, Kamis (04/02/2021) siang.
Tak hanya fenomena post-truth, ada satu fenomena lain yang sekarang ini berkembang, yang kita kenal dengan fenomena half-truth. Half-truth adalah kebenaran atau fakta yang disampaikan hanya sebagian.
"Saat ini fenomena half-truth seringkali menjadi bentuk disinformasi gaya baru yang cukup meresahkan," ucap Wakil Menkumham, Edward O.S. Hiariej pada kesempatan yang sama.
Fenomena tersebut kerap kali dituding menyulitkan pemerintah di dalam melakukan sosialisasi kinerja dan program-program pemerintah. Half-truth ini seringkali disajikan dengan beragam cara. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan menggunakan judul berita yang bombastis, hiperbola, hanya menampilkan sebagian fakta saja, dan seringkali antara judul dan isi berita jauh berbeda. Hal ini disebut dengan istilah clickbait.
"Judul-judul berita seperti ini sering kali bertujuan untuk mendapatkan jumlah click yang banyak dan traffic yang tinggi, agar sebuah web dapat lebih menarik bagi pemasang iklan," ujar Eddy, sapaan akrab Edward di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Pada akhirnya, media seakan mengejar jumlah click dan traffic dibandingkan keakuratan dan kebenaran penyampaian berita. Berita–berita yang menggunakan judul clickbait dan hanya menampilkan fakta sebagian ini masih menjadi perdebatan banyak ahli komunikasi dan hukum. Apakah masuk ke dalam kategori hoaks atau bukan.
"Namun demikian, dampak disinformasi yang ditimbulkan cukup jelas," kata Eddy. "Apalagi saat judul-judul clickbait ini tersirkulasi di media-media sosial, dan menjadi bahan bakar utama dalam disinformasi atau penyesatan opini publik dari fakta yang sebenarnya," pungkas Eddy. (Tedy, foto: Aji, Yatno)