Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Menkumham RI) Yasonna H. Laoly memberikan keterangan keterangan pers terkait dengan beberapa pasal didalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menjadi polemik di masyarakat.
"Penjelasan ini dimaksudkan untuk mengurangi prasangka dan salah paham di masyarakat. RUU KUHP ini dibuat untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat dan dalam pembuatan RUU ini semua stakeholder yang terkait kita undang dan ajak bicara” ujar Yasonna. Keterlibatan para ahli bidang hukum, lembaga non pemerintah juga kita libatkan untuk sama-sama merumuskan dan menyempurnakan RUU ini tegas Menkumham di Graha Pengayoman Jumat (20/09)
Dari beberapa pasal RUU KUHP Menkumham menjelaskan beberapa pasal yaitu pasal 219 (Penghinaan Presiden dan Wapres), Pasal 278 (Pembiaaran unggas) Pasal 414 (Mempertujunkan alat kontrasepsi), pasal 417 (perzinahan), Pasal 418 (Kohabitasi), Pasal 432 (penggelandangan), Pasal 470 (aborsi), dan Pasal 604 (Tindak Pidana Korupsi).
Khusus pasal 219 (Penghinaan Presiden dan Wapres) Yasonna menjelaskan bahwa pasal tersebut tidak akan membatasi hak berekspresi masyarakat, karena yang bisa dipidanakan adalah mereka yang menyerang pribadi presiden atau wakil presiden bukan mereka yang mengkritisi kebijakannya.
"Yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum dan delik pada pasal tersebut merupakan delik aduan” kata Yasonna
Pasal tersebut, kata Yasonna, juga turut berlaku pada penghinaan wakil negara sahabat. "Wakil negara sahabat disamakan dengan pengaturan penyerangan harkat dan martabat bagi presiden dan wapres," jelas Yasonna.
Mendampingi Menkumham memberi keterangan pers adalah Staf Ahli Menteri Bidang Politik dan Keamanan yang juga anggota tim penyusun RUU KUHP Y.Ambeg Paramarta, Prof. Muladi yang juga anggota tim penyusunan RUU KHUP, dan beberapa anggota tim penyusun RUU KUHP. (safira, Ed: dedet, Foto: ZQ)