Jakarta – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengajak seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk memerangi kekerasan terhadap anak/kelompok rentan. Hal tersebut tercermin dengan diselenggarakannya Seminar Hukum Penguatan Kapasitas Regulasi Perlindungan Anak, Respons terhadap Peningkatan Kasus Kekerasan dan Peran Media dalam Melindungan Hak Anak, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Senin 18 Desember 2023.
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama (Karohukerma), Hantor Situmorang mengatakan, pada awal tahun 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan kekerasan pada anak sudah masuk dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Barbagai macam variasi dan kompleksitas kekerasan menjadi faktor yang memicu kondisi peningkatan tersebut.
“Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, untuk itu wajib bagi negara memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang berpartisipasi serta mendapatkan perlindungandari tindak kekerasan dan diskriminasi,” ucap Hantor saat memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan Seminar Hukum.
Lebih lanjut Karohukerma mengatakan, upaya untuk mencegah kekerasan terhadap anak tidak lepas dari keterlibatan semua pihak dalam upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap anak. Hal ini sangat krusial agar kasus kekerasan terhadap anak tidak terus terulang.
"Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa, dan masih membutuhkan perlindungan,” ujar Hantor.
Pentingnya perlindungan anak juga terkait dengan tujuan Indonesia dalam skema Sustainable Development Goals (SDGs) untuk tujuh tahun ke depan. Dalam Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, empat pilar SDGs harus terkoneksi dengan kesehatan mental dan fisik anak sebagai penerus cita-cita bangsa. Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak dan berbagai regulasi lainnya menjadi dasar hukum yang mendukung perlindungan hak anak di Indonesia.
Masa depan suatu bangsa akan direfleksikan kepada pembentukan karakter generasi bangsa itu sendiri. Untuk mewujudkan generasi berkualitas dan tangguh diawali dari pendidikan yang berakar pada kebudayaan suatu bangsa.
“Anak merupakan generasi yang diharapkan akan berperan aktif membangun bangsa. Maka, perlu diberikan perlindungan serta dijamin hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta terbebas dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diatur dalam undang undang tersebut,” tutur Hantor.
Sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia, lanjut Karohukerma, Kemenkumham adalah kementerian dalam yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia (HAM), mempunyai peran strategis dalam mendukung kualitas produk hukum, kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah.
“Pemerintah Indonesia telah menetapkan prioritas pelindungan HAM di Indonesia ditujukan pada kelompok paling rentan dan terpinggirkan, termasuk orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, fakir miskin, dan penyandang disabilitas, yang tercermin dalam Pancasila sebagai dasar dan falsafah resmi negara Republik Indonesia, Undang-Undang (UU) Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM,” papar Hantor.
Hantor mengataktan, berdasarkan data KPAI, ada 2.355 kasus pelanggaran yang masuk sebagai laporan kekerasan anak hingga Agustus 2023. Dari jumlah tersebut, terdapat 723 kasus kekerasan terkait dengan satuan pendidikan seperti perundungan, korban kebijakan pendidikan, korban kekerasan fisik atau psikis, dan korban kekerasan seksual. Sedangkan berdasarkan data pengaduan ke Komnas Perempuan di tahun 2023, terdapat 140 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Sementara itu, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan bahwa pada periode 1 Januari hingga 27 September 2023 terdapat 19.593 kasus kekerasan yang tercatat di seluruh Indonesia, dimana kelompok usia 13-17 tahun mencapai 7.451 korban, usia 0-5 tahun mencapai 1.475 korban, dan usia 6-12 tahun mencapai 4.286 korban.
“Data ini menunjukkan kurangnya perlindungan dan pencegahan yang memadai menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak,” tandas Hantor.
Padahal, lanjutnya, regulasi yang ada secara tegas mengatur perlindungan terhadap anak, namun masih kerap ditemukan peristiwa kekerasan anak di berbagai tempat, baik di rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman untuk anak, sekolah yang seharusnya menjadi media bermain dan belajar, bahkan di tempat ibadah sekalipun.
Belum lagi adanya data yang menyatakan, sebanyak 22% anak-anak secara tidak sengaja menemui konten seksual. Konten semacam itu dapat muncul melalui berbagai saluran, termasuk iklan yang tampil saat mereka menjelajah internet, unggahan di media sosial yang mungkin tidak difilter dengan baik, hasil pencarian dari mesin pencari, dan melalui berbagai aplikasi pesan yang mereka gunakan.
“Peran media menjadi krusial dalam menghadapi tantangan perlindungan anak di era digital ini. Media memiliki potensi besar untuk tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga membentuk opini dan kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, penguatan kapasitas regulasi harus diiringi dengan peran media yang lebih proaktif dan tanggap terhadap isu kekerasan anak,” terang Hantor.
Strategi preventif, ucap Hantor, seperti pembuatan dan pemutakhiran regulasi yang relevan, menjadi langkah penting untuk mengidentifikasi potensi risiko dan ancaman terhadap anak-anak di era digital, pendidikan literasi digital di sekolah adalah langkah dalam mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi dunia digital yang semakin kompleks, peran orang tua dalam perlindungan anak di era digital sangat penting.
“Penggunaan teknologi harus dapat melindungi privasi anak, memberikan bimbingan tentang etika dan perilaku online yang baik, yang mampu menyebar luaskan informasi serta menggali partisipasi masyarakat dalam berbagai program,” papar Hantor.
Di akhir sambutannya, Karohukerma kembali mengajak partisipasi masyarakat, yang dapat berupa keterlibatan sebagai relawan penyebar informasi, fasilitator pelatihan, hingga mitra pelaporan kasus kekerasan agar dapat digalakkan.
“Kolaborasi dengan berbagai lembaga pemerintah, non-pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memaksimalkan dukungan sumber daya dan kebijakan yang mendukung,” tandas Hantor.