Jakarta – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Indonesia akhir-akhir ini sangat marak kita dengar dari berbagai media, baik media cetak, maupun media elektronik seperti televisi, dan internet. Bahkan, beberapa kasus kekerasan seksual tersebut disertai dengan tindak pembunuhan terhadap korban.
“Hal ini menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia dikategorikan dalam kondisi ‘darurat’,dan masuk kategori kejahatan luar biasa, karena mengancam dan membahayakan jiwa anak, serta masa depan bangsa,” tandas Direktur Jenderal (Dirjen) Hak Asasi Manusia (HAM) Mualimin Abdi, membacakan sambutan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang berhalangan hadir, di Graha Pengayoman,Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (18/07/2016).
Selanjutnya Mualimin menjelaskan mengapa kasus kekerasan terhadap anak dikategorikan darurat, kekerasan terhadap anak tidak hanya meninggalkan luka secara fisik, lebih dari itu, kekerasan ini akan memberikan efek buruk pada perkembangan emosional, sosial, dan psikologi korban kekerasan.
“Bahkan, tidak jarang korban mengalami gangguan psikologis di masa yang akan datang. Lebih dari itu, apabila korban tidak mendapatkan penanganan dengan baik, kemungkinan besar anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sarat berbagai gangguan emosional seperti depresi hingga hangguan mental serius,” jelas Mualimin dalam Diskusi Terbuka dengan tema ‘Perlindungan Anak Terhadap Kekerasan Seksual’.
Lebih lanjut Mualimin menjelaskan, demi mengakhiri kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, saat ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak, dengan menambahkan hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual yaitu hukuman kebiri. “Hukuman kebiri ini tentu harus disertai dengan supervisi intensif dari tim medis, untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan,” lanjut Abdi.
Perppu dimaksud juga mengatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku dengan tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. “Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk ke pemberatan pidana,” ujar Mualimin.
Sedangkan untuk tambahan pidana alternatif yang diatur adalah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. “Penambahan pasal tersebut akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku,” ucap Mualimin.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menghilangkan kekerasan seksual terhadap anak, kewaspadaan masyarakat dan keseriusan dari aparat dan pranata sosial setempat untuk ikut serta dalam proses rehabilitasi, dan pengawasan pelaku kejahatan menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. “Khususnya pengawasan ketat dan terukur dari keluarga yang memegang peranan penting bagi proses pencegahan terjadi tindak kejahatan seksual yang melibatkan anak,” kata Mualimin.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) yang bekerja sama dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) ini, diharapkan dapat menghasilkan solusi perlindungan bagi anak terhadap kekerasan seksual, yang ditinjau baik dari perangkat peraturan perundang-undangan, maupun dari institusi-institusi/instansi yang bertugas dalam memberikan perlindungan bagi anak Indonesia. Sehingga kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat berakhir secepatnya. (Zaka. Ed: TMM. Foto: Tedy)