Jakarta - Pemerintah dan media sejatinya adalah mitra strategis yang mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Pemerintah dalam beberapa hal membutuhkan media, begitu juga sebaliknya. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berupaya menjalin sinergi yang harmonis dengan rekan-rekan media, terutama untuk mensosialisasikan program-program pemerintah yang berhubungan dengan hukum dan HAM.
Dalam perbincangan yang diselingi dengan makan siang santai (working lunch) bersama rekan-rekan media, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Eddy O.S Hiariej mengatakan ini adalah perdana dirinya bertemu dengan media dalam sebuah forum santai sebagai wakil menteri.
“Sebagai akademisi dan pejabat negara itu bagaikan langit dan bumi. Kita harus hati-hati dalam berbicara,” kata Eddy mengawali kegiatan yang bertajuk Bincang Santai bersama Wamenkumham.
Pertemuan yang dihadiri oleh 16 media ini mendiskusikan banyak hal, seperti perampasan aset negara yang berada di luar negeri misalnya. Kata Eddy, perampasan aset negara yang berada di luar negeri harus melibatkan Kemenkumham.
“Di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, harus melibatkan Kemenkumham. Otoritas ada pada kita di Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum,” kata Eddy, Jumat (09/04/2021) siang. “Tapi asset recovery bukanlah suatu hal yang mudah,” tambahnya.
“Kita belum punya UU Perampasan Aset. Pengembalian aset dimanapun di dunia ini butuh waktu yang lama, tidak bisa kembali secara penuh, dan jalannya berliku,” ungkapnya.
Poin lain yang dibahas adalah tentang Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Eddy optimis RUU KUHP akan dapat disahkan pada tahun ini.
“Saya berharap RUU KUHP, yang hadir dengan hukum paradigma modern, dapat mengurangi beban over kapasitas di lapas (lembaga pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan negara),” ujar Guru Besar Universitas Gadjah Mada ini.
“Pidana penjara sudah bukan primadona lagi, tapi ada pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Ada pertimbangan tersendiri, yaitu standard of sentencing, standar pemidanaan, termasuk latar belakang ekonomi,” jelas Eddy. “Hakim menjatuhkan pidana ngga gampang. Ada sekitar 12 atau 15 standar,” sambungnya.
“Kira-kira kalau seseorang dijatuhi hukuman, apakah (dia) secara ekonomi mampu jika dijatuhi (pidana) denda? Maka (alternatifnya) bisa dijatuhi hukuman untuk kerja sosial,” kata Wamenkumham di Gedung Ditjen Imigrasi.
Alternatif pidana ini diklaim dapat mengurangi beban lapas dan rutan, tapi tidak mengurangi tugas petugas pemasyarakatan.
“Karena hukuman yang dijatuhkan tersebut tetap diawasi oleh pemasyarakatan,” tutupnya. (Tedy, foto: Aji, Yatno)