Tangerang - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengajukan rekor untuk Gerakan Peduli Kemenkumham kepada Masyarakat Tingkat Nasional, dalam bentuk pengeboran sumur di 259 titik di seluruh Indonesia. Namun sayangnya, Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) terpaksa menolak pengajuan rekor ini sebagai rekor Indonesia.
Gerakan yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari Dharma Karyadhika (HDK) Kemenkumham Tahun 2015 yang jatuh pada 30 Oktober mendatang ini, diajukan Kemenkumham karena sifatnya yang bersamaan pada 33 Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham di seluruh Indonesia. Tak hanya waktunya yang serentak, kegiatan istimewa ini juga nihil menggunakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, mengatakan seluruh anggaran dalam kegiatan ini bersumber dari kocek pribadi pegawai Kemenkumham. “Anggarannya swadaya dari seluruh pegawai Kemenkumham. Artinya ini kerelaan,” ujarnya, Jumat (9/10/2015). “Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk saling tolong menolong, setia kawan, rasa toleransi, simpati, dan juga empati terhadap sesamanya,” tambahnya.
Lalu mengapa MURI menolak kegiatan ini sebagai rekor Indonesia? Ketua Dewan MURI, Jaya Suprana, dalam sambutannya menjelaskan bahwa MURI terpaksa menolak kegiatan ini sebagai rekor Indonesia. “Pak menteri dengan segala hormat, kami terpaksa menolak ajuan rekor ini sebagai rekor Indonesia. MURI ngga mungkin mengakui ini sebagai rekor Indonesia, karena rekor ini tidak bisa diakui sebagai rekor Indonesia,” katanya.
Jaya mengatakan, dirinya belum pernah mendengar kegiatan serupa ada di New York, pun London, juga Saudi Arabia. “Tapi setelah menyaksikan apa yang ada disini, ini hanya terjadi di Indonesia. Karena MURI sebagai lembaga museum rekor Indonesia, terpaksa mengakui ini sebagai rekor dunia,” kata Jaya kemudian. Suasana yang tenang tiba-tiba bergemuruh disambut tepuk tangan yang riuh rendah.
“Ini menjadi suri tauladan, dan saya akan menulis tentang ini, Pak Menteri. Dan saya harapkan empati dengan memberi ini akan menjadi gerakan nasional yang kami harapkan semua kementerian di Indonesia, jangan ada yang mau kalah dengan Kemenkumham,” ujarnya bersemangat. “Mereka (kementerian) bisa melakukannya tidak hanya melalui air bersih, tapi bisa macam-macam. Banyak sekali yang bisa dilakukan terhadap desa-desa kita dan teman-teman kita yang tidak seberuntung kita,” tambahnya kemudian.
Jaya Suprana yang hobi berkelakar ini sempat menyebutkan jika Menkumham salah urusan dengan gerakan pengeboran ini. “Kok ada Menteri Hukum ngurusin soal bor-boran itu. Kok Anda bisa nyelonong begini ini menurut saya ada sesuatu yang ngga beres sebetulnya,” kata Jaya sembari tertawa. “Yang ngga beres bukannya Pak Menteri, tetapi bangsa kita,” katanya lagi yang seketika disambut suasana hening.
“Tetapi untung di balik hukum ada HAM (Hak Asasi Manusia)-nya. Anda telah menyentuh HAM yang paling dasar, yaitu HAM untuk memperoleh air bersih. Jadi ternyata Anda ngga keliru-keliru amat,” katanya seraya tertawa. Jaya yang sempat kehabisan kata-kata mengaku terharu lewat kegiatan ini. “Kagum juga kepada Pak Sekjen dan keluarga besar kementerian ini. Dimana mereka tahu, kalau (menggunakan) APBN itu, nanti Pak Menterinya malah ‘celaka’. Maka mereka semua urunan, dengan segala kemampuan masing-masing untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia,” tutupnya bangga.
Turut hadir Staf Khusus Menkumham, Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama di lingkungan Kemenkumham, Kepala Kanwil Kemenkumham Banten, Asisten Daerah I Provinsi Banten, serta Direktur MURI Aylawati Sarwono. Hadir pula Walikota Tangerang, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Banten, FKPD Kota Tangerang, Camat, Lurah, serta tokoh masyarakat di lingkungan Kota Tangerang. (Tedy, Foto: Dudi)