Bogor - Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo, menginginkan Indonesia menjadi negara maju, adil, sejahtera. Keinginan Presiden Jokowi diwujudkan dengan membuat paket kebijakan ekonomi yang didalamnya banyak menderegulasi aturan yang menghambat pembangunan ekonomi. Pembuatan paket kebijakan ekonomi dilanjutkan dengan reformasi hukum secara luas. Untuk mereformasi hukum, Pemerintah RI memulai dengan penguatan substansi dan operasionalisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Banyaknya Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah saat ini membuat kondisi hukum di Indonesia berimbas negatif terhadap pembangunan. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H Laoly, menyatakan, Peraturan-peraturan tersebut yang menjadikan iklim ekonomi tidak menarik bagi investor. "Investasi dan pembangunan ekonomi yang baik tentunya karena hukum yang benar," kata Yasonna di Bogor, Jawa Barat, Rabu malam (26/10/2016).
Menkumham menjelaskan, Ada 60 ribuan peraturan yang menjadi fokus pemerintah untuk dibenahi. Pemerintah perlu mendapat bantuan dari pakar hukum, praktisi hukum, pelaku bisnis, dan elemen masyarakat lain dalam kerja besar tersebut. "Kami berterimakasih kepada Prof Bagir, Prof Sunaryati, Prof Barda, Dr. Harjono, dan pakar-pakar hukum yang lain yang telah memberikan masukan kepada kami," kata Menkumham.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) menjelaskan bahwa kebijakan subsidi yang dulu mau dibenahi. Anggaran subsidi beras 29 triliun rupiah yang masuk ke Bulog diganti arahnya agar langsung diterima masyarakat. 39 triliun rupiah subsidi pupuk yang sebelumnya masuk ke pabrik pupuk akan dirubah langsung kepada petani. "Semua subsidi langsung diterima masyarakat," ujar Teten.
Sementara pakar hukum Bagir Manan menjelaskan bahwa dalam deregulasi tidak hanya memperhatikan kebutuhan investasi tetapi juga harus memperhatikan kepastian, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Bagir mengamati, banyak peraturan yang dikeluarkan tidak relevan dengan kebutuhan, peraturan muncul karena diskresi. "Menurut catatan singkat saya, persoalan hukum dikarenakan over regulated, irelevan, disharmoni, dan tidak berkualitas," jelas Bagir.
Menurut pakar hukum Harjono, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) harus menjadi pemimpin dalam pekerjaan besar mereformasi hukum. Reformasi hukum dilaksanakan secara keseluruhan dan politik hukum nasional dirumuskan dengan detil. "Untuk itu Kemenkumham harus menjadi pusat pembangunan hukum nasional, think tanknya. Reformasi hukum harus tersentralisir," jelas Harjono.
FGD tentang "Penyusunan Program dan Strategi Reformasi Regulasi dalam Rangka Memperkuat Substansi dan Operasionalisasi UU Nomor 12 Tahun 2011" berlangsung selama tiga hari, 26-28 Oktober 2016, juga membahas soal perlu tidaknya badan adhoc untuk menyelesaikan deregulasi 60 ribuan aturan. Dari unsur pemerintah terlihat yang mendampingi Menkumham, Kepala KSP, Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Ka Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri. Sejumlah pakar hukum lainnya yang menjadi narasumber yaitu, Prof Hibnu Nugroho, Prof Herowati Poesoko, Prof Widodo Ekatjahjana, Dr Susi Dwi Harijanti, Dr Asep Rahmat Fajar, Prof Dr Benny Riyanto, Prof Budiman Ginting, Prof Enny Nurbaningsih, Dr Triana Ohoiwutun, Dr Yenti Garnasih dan Prof Yohanes Usfunan. (TMM Dok: Johannes)