Jakarta - Indonesia memang belum menjadi negara penghasil teknologi yang advance. Dalam beberapa hal, kebutuhan didalam menunjang pelayanan publik masih tergantung pada produk impor. Namun bukan berarti tidak boleh. Ketika ada justifikasi yang kuat, maka berbelanja produk impor diperbolehkan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Nico Afinta menegaskan bahwa belanja produk impor di lingkungan Kemenkumham boleh dilakukan, akan tetapi diperketat. Belanja impor hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
“Ajukan permohonan persetujuan penggunaan produk impor sesuai prosedur yang telah ditetapkan,” kata Nico saat memimpin Rapat Finalisasi Persetujuan Belanja Impor Tahap 2 Tahun 2024 di lingkungan Kemenkumham.
Namun begitu, lanjut Nico, terdapat larangan belanja produk impor manakala permintaan telah melebihi dari yang telah disetujui dan ditetapkan dalam persetujuan Menkumham, baik dari sisi jumlah/volume, nilai/anggaran, dan spesifikasi produk.
“Persetujuan belanja impor memerlukan skala prioritas, karena ada pembatasan 5 persen. Kalau pun lebih itu, harus memperhatikan dari kriteria dan kondisi yang ada, dan dipastikan tidak ada dalam PDN (Produk Dalam Negeri),” katanya, Jumat (11/10/2024) di Ruang Rapat Soepomo, Gedung Sekretariat Jenderal.
Seperti diketahui, saat ini penggunaan produk impor pada pengadaan barang/jasa pemerintah dibatasi hanya sampai 5 persen saja. Dari histori pembatasan belanja produk impor di Kemenkumham, pada 2022 tercatat sebesar 5,77 persen dan di 2023 sebesar 6,78 persen. Sedangkan tahun ini pada tahap pertama sudah mencapai 3,79 persen.
Sementara itu Asisten Deputi Sumber Daya Manusia Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Hermin Esti Setyowati mengapresiasi Kemenkumham yang selalu berkomitmen untuk berbelanja PDN.
“Memang dalam beberapa hal, kita masih tergantung pada produk impor, seperti tinta paspor, printer paspor, alat pembaca paspor (MRTD). Kalau dipaksakan (PDN) nanti tidak bisa terbaca di internasional. Harus tetap meningkatkan kualitas pelayanan, jangan sampai menghambat karena hal-hal seperti ini,” ujarnya.
Sedangkan menurut Direktur Advokasi Pemerintah Pusat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Muhammad Aris Supriyanto terdapat pengecualian manakala dari sisi kebutuhan kita belum bisa disediakan oleh produk lokal, baik secara kualitas maupun kuantitas. Maka masih diperbolehkan menggunakan produk impor.
“Di beberapa kementerian/lembaga lain ketika menentukan kebutuhan, kita agak tergoda dengan keinginan, bukan kebutuhan. Seperti laptop misalnya, banyak yang menggunakan produk yang spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan operasional kantor,” kata Aris.
“Temuan di lapangan, antara kebutuhan dan keinginan masih ambigu. Perlu justifikasi yang logis apakah memang itu betul-betul kebutuhan kita atau keinginan,” tutupnya.