Jakarta – Fenomena terbakarnya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang tidak hanya menarik perhatian di dalam negeri, namun juga internasional, yaitu Uni Eropa (UE). Hal tersebut tercermin dalam Pertemuan Kehormatan antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly, dengan Para Duta Besar (Dubes) negara anggota UE secara daring. Dubes Bulgaria, dan Denmark menyampaikan rasa simpati dan duka atas peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang, 8 September 2021.
“Saya turut berduka atas kebakaran di Lapas Tangerang. Kami juga mengalami tekanan dan kegelisahan serupa ketika peristiwa kebakaran penjara di negara kami, yang telah memakan korban beberapa warga Uni Eropa di samping warga kami,” ujar Dubes Denmark Lars Bo Larsen melalui aplikasi zoom di ruang kerjanya, Jakarta, Kamis, (07/10/2021).
Senada dengan Dubes Denmark, Dubes Bulgaria Petar Dimitrov Andonov kembali menyampaikan rasa simpatinya terhadap kebakaran Lapas Tangerang, dan menanyakan tentang reformasi pemasyarakatan secara umum, serta penjelasan Menkumham terkait bentuk hukuman alternatif apa saja yang diterapkan di Indonesia.
“Kami (pihak Uni Eropa) bersedia membantu berdasarkan pengalaman dalam pengembangan hukuman alternatif selain pemenjaraan, terutama untuk kejahatan/pelanggaran ringan, yang diharapkan dapat solusi dalam era Covid-19,” ujar Andonov di Jakarta.
Menanggapi pernyataan Dubes Bulgaria dan Denmark, Menkumham mengapresiasi tawaran bantuan dari para Dubes terkait reformasi pemasyarakatan. Pihaknya saat ini memprioritaskan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Narkotika, agar para pengguna narkoba dapat diberikan program rehabilitasi ketimbang memenjarakan mereka.
“Musibah kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang merupakan insiden yang tak terhindarkan akibat over kapasitas penjara di Indonesia. Jumlah WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) kasus narkotika yang mengisi lapas dan rutan (rumah tahanan negara) di Indonesia lebih dari 50%,” ujar Yasonna di Ruang Rapat Menkumham, Jakarta.
Berangkat dari masalah over kapasitas di lapas dan rutan yang disebabkan napi kasus narkoba, lanjut Menkumham, bila kita sudah berhasil merubah ketentuan para pengguna narkoba ke rehabilitasi daripada memenjarakannya, maka akan secara signifikan mengurangi jumlah penghuni lapas/rutan.
Selanjutnya Menkumham menjelaskan, upaya lain terkait reformasi pemasyarakatan dengan mengedepankan konsep keadilan restoratif di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Pemasyarakatan, sehingga tidak semua kasus harus berakhir dengan pemenjaraan.
Pengalaman saat mengunjungi penjara di Belanda, lanjut Menkumham, sangat jauh berbeda dengan lapas dan rutan di Indonesia, layaknya motel bila di Indonesia. Sedangkan di sini, terbatasnya ruangan sel, seorang WBP harus bergantian untuk bisa tidur.
“Kami akui kondisi ini kurang manusiawi. Kami telah berupaya membangun lapas baru, sayangnya tidak sebanding dengan tingkat pertambahan WBP yang ada. Kami sangat sependapat perlunya upaya reformasi pemasyarakatan dan mengapresiasi sekali lagi kepada Dubes Bulgaria dan Dubes Denmark atas dukungan dan tawaran bantuannya,” tandas Yasonna.
Di akhir pertemuan, Menkumham menyatakan bahwa pemenjaraan merupakan upaya terakhir dalam penghukuman (ultimum remedium).
“Inilah yang Kumham upayakan dalam rangka reformasi pemasyarakatan, begitu juga dengan meningkatkan kapasitas dan jumlah personil pemasyarakatan,” tutup Yasonna. (Agung. Editor: Zaka)