Jakarta – Memiliki kewarganegaraan merupakan salah satu hak warga negara Indonesia yang dilindungi pemerintah. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) selaku pengemban tugas dan fungsi pelayanan kewarganegaraan menggelar diskusi interaktif untuk memajukan pelayanan kewarganegaraan. Kegiatan ini dilakukan pada Selasa-Kamis, 28-30 September 2021.
Direktur Tata Negara Ditjen AHU, Baroto, menjelaskan saat ini pelayanan kewarganegaraan Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hingga tahun ke-15 UU ini berlaku, pemerintah menemui beberapa isu yang pelayanannya perlu ditingkatkan, di antaranya adalah kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil perkawinan orang tua WNI dan WNA. Pada umur 18 tahun atau sudah kawin, maka anak harus memilih salah satu kewarganegaraan. Namun, pada praktiknya belum semua anak melakukan pemilihan kewarganegaraan pada waktu yang ditetapkan.
Isu lain yang ditemukan adalah tentang tata cara kehilangan kewarganegaraan. Sebelumnya, isu ini mendapat perhatian publik melalui kasus Bupati terpilih Sabu Raijua Orient Riwu Kore di awal tahun 2021. Orient memiliki dua paspor yaitu Indonesia dan Amerika. Dengan kepemilikan paspor Amerika, Orient terancam kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan tidak bisa ikut dalam pemilihan kepala daerah.
Menurut Baroto, kendala-kendala yang dihadapi saat ini disebabkan oleh pemahaman masyarakat yang belum utuh tentang proses-proses dalam pelayanan kewarganegaraan, perbedaan sistem kewarganegaraan di berbagai negara, dan data kewarganegaraan yang belum terintegrasi antar Kementerian/Lembaga (K/L).
Untuk mengatasi kendala terkait kewarganegaraan, pemerintah sedang melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi isu-isu kewarganegaraan. Ditjen AHU menggencarkan integrasi data antar K/L, penyusunan regulasi, sosialisasi dan penguatan koordinasi antar K/L, serta penguatan peran kantor wilayah.
Beberapa K/L yang memegang data penting dalam pelayanan kewarganegaraan adalah Kementerian Dalam Negeri (Kependudukan dan Pencatatan Sipil), Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Negara Sahabat, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Imigrasi Kemenkumham, dan UNHCR. Jika data antar K/L ini bisa terintegrasi, lanjut Baroto, akan sangat membantu dalam pelayanan kewarganegaraan.
“Integrasi data menjadi kunci yang harus kita lakukan. Mendesain bagaimana supaya aplikasi dan data kita bisa terintegrasi. Dengan demikian dapat mencegah permasalahan-permasalahan tentang kewarganegaraan. Kita bisa mendeteksi orang yang memiliki dua paspor, yang terancam kehilangan kewarganegaraan,” jelas Baroto, Rabu (29/09) di Hotel JW Marriot.
Selain langkah-langkah strategis tersebut, Ditjen AHU juga menggali gagasan dari para pakar di berbagai bidang. Hadir secara tatap muka dalam diskusi ini, Hadi Rahmat Purnama dari Universitas Indonesia yang membahas perbandingan hukum kewarganegaraan di berbagai negara, Ahmad Helmy Fuady dari Badan Riset dan Inovasi Nasional yang memaparkan riset diasporan dan kewarganegaraan ganda, serta Prasetyoadji dari Institut Kewarganegaraan Indonesia yang mendiskusikan permasalahan diaspora dan kewarganegaraan ganda.
Sementara itu, peserta dari K/L lain, mahasiswa, dan jajaran kantor wilayah Kemenkumham mengikuti secara daring.
Baroto berharap kegiatan ini dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi langkah yang dapat dilakukan oleh Ditjen AHU dalam mengatasi setiap permasalahan kewarganegaraan. Dengan demikian, masyarakat bisa memperoleh pelayanan kewarganegaraan dengan lebih baik. (Christo)