Jakarta - Papua saat ini memiliki status otonomi khusus berdasar Undang-undang Nomor 21 Thun 2001. Pemberian Otonomi Khusus dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang adil dan sejahtera di Tanah Papua. Harapannya Papua menjadi provinsi yang seimbang dan setara dengan provinsi lainnya. Namun demikian, harapan tersebut hingga saat ini belum tercapai secara optimal sehingga diperlukan revisi terhadap UU a quo. Revisi dibutuhkan agar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Otsus di Papua jauh lebih sempurna dibandingkan yang telah berjalan selama ini.
Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, DPR RI, mengundang Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk hadir dalam rapat membahas beragam persoalan yang menjadi Daftar Iinventaris Masalah (DIM) RUU Otonomi Khusus Papua.
Rapat dipimpin oleh Komarudin Watubun selaku Ketua Pansus Otsus Papua. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej datang mewakili Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang saat bersamaan tengah mewakili Presiden melaksanakan sidang pengujian formal undang-Undang Cipta Kerja di MK.
Terdapat beberapa poin permasalahan yang dibahas oleh Pemerintah dan Pansus terkait RUU ini. Wamenkumham menjelaskan ada dua isu yang menjadi sorotan pemerintah yaitu soal pengelolaan keuangan dan pemekaran wilayah.
“Isunya ada dua, yang pertama adalah soal pengelolaan keuangan dan kedua adalah soal pemekaran Provinsi,” kata Wamen yang akrab dipanggil Eddy Hiariej ini di ruang rapat Pansus, Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (17/6/21).
Namun demikian Eddy menegaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan pembahasan akan melebar dari dua persoalan itu.
“Tidak hanya dua masalah itu saja. Artinya yang akan diperbaharui atau direvisi dalam Undang-Undang Otonomi Khusus ini tidak hanya berkutat pada pasal-pasal terkait dua isu itu, tetapi bisa juga menyentuh pasal-pasal yang lain, tergantung dari kesepakatan kita bersama,” tutur pria asli Ambon itu.
Eddy menjelaskan bahwa dua isu ini terkuak karena ketika membicarakan UU Otonomi Khusus, maka secara teori, bukan lagi lex specialis tapi sifatnya lex specialis systematis.
“Jadi istilahnya, khusus yang sangat khusus. Ini untuk mencegah adanya pertentangan antara peraturan pelaksanaan dibawahnya dengan undang-undang itu sendir,” ujarnya lebih lanjut
Eddy menjelaskaan bahwa tidak semua persoalan yang muncul di Papua dapat dimasukkan dalam batang tubuh RUU, tetapi bisa dimasukkan dalam peraturan turunannya.
“Kita perlu untuk memilah mana yang nanti masuk dalam undang-undang dan mana yang betul-betul teknis kedalam peraturan pelaksanaan,” papar Guru Besar Hukum UGM ini.
Selain Kemenkumham, rapat ini juga dihadiri oleh Mendagri Tito Karnavian dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dari Kementerian Keuangan.
Dari hasil rapat tersebut didapat kesimpulan bahwa sepanjang untuk mempercepat tujuan Otonomi Khusus di papua maka Pansus DPR RI bersama dengan Pemerintah memahami aspirasi masyarakat yang berkembang untuk membahas revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak terbatas hanya pada 2 (dua) permasalahan yang ada.
Selain itu Pansus DPR RI meminta agar Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM merumuskan tambahan penjelasan yang disampaikan dalam rapat kerja ini, sebagai bahan pendamping dalam pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM). (Komar, Bowo).