Jakarta – Kerja sama yang terjalin antara dua organisasi kadang kala mengandung hibah, namun masih sering muncul pertanyaan apakah hibah harus dipertanggungjawabkan? Kondisi seperti ini ditemui di beberapa kementerian/lembaga (K/L), tidak terkecuali di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama menyelenggarakan Evaluasi Hibah Kerja Sama Luar Negeri di Lingkungan Kemenkumham, Rabu 26 Agustus 2020, secara fisik di Ruang Rapat Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama, Lantai Lima Gedung ex Sentra Mulia, Jakarta, dan secara daring melalui aplikasi Zoom, dengan mengundang narasumber dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Ditjen PPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.
Kepala Seksi Akuntansi Hibah, Hedriansyah yang bertindak sebagai narasumber menjelaskan akan pentingnya pertanggungjawaban hibah. Menurutnya, pertanggungjawaban hibah sangat penting dalam rangka transparansi dan akuntabilitas. “Dengan dipertanggungjawabkannya hibah, diharapkan tidak adanya duplikasi kegiatan/anggaran, sehingga kerja sama menjadi lebih efektif dan efisien,” tandas Hedriansyah, yang sering dipanggil Oki saat memberikan paparan melalui aplikasi Zoom.
Oki menjelaskan, pada dasarnya hibah adalah pemberian sukarela, tidak ada kontra prestasi. “Tidak ada take and give, tidak ada kewajiban kita membalas pemberian dari mitra kerja sama kita. Setiap hibah pasti kerja sama, tetapi kerja sama belum tentu hibah,” kata Oki.
Lebih lanjut Oki mengatakan, hibah tidak dilarang, apalagi kondisi saat ini, tetapi ketika menerima hibah, harus diperhatikan aturan dan tugas dan fungsi (tusi) dari K/L yang menerima hibah. “Pegang teguh transparansi, akuntabilitas, tidak ada kepentingan politik, dan yang paling penting adalah harus menunjang tusi K/L,” jelas Oki.
Setiap hibah yang diterima oleh K/L, terang Oki, wajib memiliki payung hukumnya, yakni sebuah dokumen perjanjian. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 99 Tahun 2017 tentang Administrasi Pengelolaan Hibah. “Dokumen perjanjian tersebut menjadi dasar untuk dilakukannya registrasi di Kementerian Keuangan,” kata Oki.
Setelah itu, lanjut Oki, ke dua belah pihak menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) yang berisikan keterangan apa saja yang telah dihibahkan. “Di BAST harus dipastikan, hibah (biaya/barang) yang muncul di dalam BAST sesuai dengan kegiatan yang telah dilakukan, jangan sampai ditumpangi dengan kegiatan lain. Jangan sampai hibah yang diterima tidak tercatat, atau yang bukan hibah tercatat sebagai hibah,” ucap Oki.
Apabila BAST sudah dibuat, langkah selanjutnya adalah pengesahan BAST di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). “Perlu diingat, yang menandatangani BAST tidak harus orang yang sama yang menandatangani perjanjian kerja sama. Bisa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), bisa juga orang yang didelegasikan oleh Menteri/pejabat yang menandatangani perjanjian kerja sama. Akan tetapi dokumen untuk pengesahan BAST hanya bisa ditandatangani oleh PA/KPA
Oki berpesan, untuk meringankan beban penerima hibah, agar dimasukkan klausul yang menerangkan segala transaksi dalam hibah menjadi tanggung jawab pendonor. “Donor bertanggung jawab penuh akan transaksi yang ada dalam BAST,” ucap Oki.
Dan yang tidak kalah penting, lanjut Oki, adalah membuat work plan dari kerja sama yang telah disepakati. “Jadi kita tahu apa yang akan kita kerjakan ke depannya,” tutur Oki. (Zaka)