Jakarta – Korporasi kerap kali digunakan untuk menyembunyikan identitas pelaku serta hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT). Korporasi seperti ini disebut corporate vehicle, dimana korporasi dimanfaatkan sebagai 'kendaraan pencucian uang'. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan risiko corporate vehicle dapat dicegah dengan tersedianya informasi pemilik manfaat dari korporasi bagi pihak berwenang.
“Risiko ini dapat dikurangi secara signifikan jika informasi mengenai Legal Owner dan Beneficial Ownership, sumber aset, aset, serta aktivitas korporasi tersedia bagi pihak berwenang,” kata Yasonna. “Informasi ini membantu penegak hukum dan otoritas berwenang mengidentifikasi orang-orang yang bertanggung jawab atas aktivitas korporasi,” tutur Yasonna dalam kegiatan Diseminasi Peraturan Pelaksana Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT.
Secara internasional, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT, salah satunya yaitu transparansi kepemilikan manfaat dari badan usaha. Merespon hal ini, Presiden Indonesia telah mengeluarkan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT.
Lebih lanjut Yasonna mengatakan, Kemenkumham dalam kolaborasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengundangkan peraturan turunan dari Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tersebut, yakni Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
“Permenkumham ini (Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019) menjadi acuan bagi korporasi untuk mengidentifikasi siapa saja pemilik manfaat yang terdapat dalam korporasinya, serta bagaimana korporasi tersebut dapat menyampaikan informasi tentang data pemilik manfaat kepada instansi berwenang, dalam hal ini adalah Kemenkumham,” jelas Yasonna di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis (05/12/2019). Sementara itu, Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 bertujuan memastikan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat telah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan transparansi pemilik manfaat korporasi berkaitan erat dengan investasi di Indonesia. Kepercayaan investor luar negeri kepada Indonesia sangat bergantung pada ketersediaan data yang akurat, terkini dan transparan terkait pemilik manfaat atas korporasi. Untuk itu, Menkumham berharap melalui kegiatan diseminasi ini Indonesia memiliki iklim investasi yang baik dan aman dari TPPU dan TPPT. (Christo, foto: Tedy)