JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie mengatakan, pemerintah masih berupaya memulangkan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, ke Indonesia.
Menurut Ronny, Kementerian Hukum dan HAM telah menyerahkan data-data biometrik Djoko Tjandra dan berkas kasusnya kepada Pemerintah Papua Niugini.
"Kemenkumham sudah menyerahkan data-data itu ke Pemerintah Papua Niugini," ujar Ronny saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (9/5/2016).
Ronny mengungkapkan, ada sejumlah hal yang menghambat upaya ekstradisi. Salah satu hambatannya adalah pemberian hak kepada Djoko Tjandra oleh Pemerintah Papua Niugini untuk menetap di sana.
Oleh karena itu, upaya ekstradisi tergantung sikap Pemerintah Papua Niugini.
"Dia sudah diberikan hak oleh Papua Niugini. Jadi, sekarang sangat tergantung dengan Pemerintah Papua Niugini," kata dia.
Pemerintah masih mengupayakan proses diplomasi agar Papua Niugini mau menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan, pemerintah masih melakukan proses perjanjian ekstradisi.
Pemerintah Papua Niugini belum menandatangani perjanjian ekstradisi yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia.
"Prosesnya masih berlangsung. Perjanjian ekstradisi belum ditandatangani oleh pihak Papua Niugini," ujar Arrmanatha saat memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2016).
Proses kerja sama soal ekstradisi, kata dia, merupakan proses yang panjang.
Indonesia sudah memberitahukan kepada Papua Niugini, salah satu buronan korupsi kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, sudah melalui proses hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Pihak kejaksaan kesulitan memulangkan Djoko Sugiarto Tjandra ke Indonesia karena yang bersangkutan sudah berkewarganegaraan Papua Niugini dan memberi sumbangan besar ke negara tersebut.
Dalam kasus Djoko, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa dia bebas dari tuntutan.
Kemudian, pada Oktober 2008, kejaksaan melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah. Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carter dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby.
Djoko kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Niugini pada Juni 2012.
Namun, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.