rss 48

Siaran Pers

Siaran Pers Kementerian Hukum dan HAM RI

BPHN Sorot Tumpang Tindih Regulasi Sektor Kepariwisataan di Indonesia

2020 08 31 BPHNPariwisata1

Jakarta - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) unit kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyoroti permasalahan regulasi dalam bidang Kepariwisataan. Salah satunya disebabkan masih adanya tumpang tindih regulasi baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Oleh karenanya dibutuhkan sosialisasi dan koordinasi lintas sektor yang intensif untuk menyelaraskan setiap kebijakan yang lahir. Sehingga dapat mendorong pendapatan sektor pariwisata yang lebih optimal di masa yang akan datang,” ungkap Kepala BPHN Prof. R. Benny Riyanto, Senin (31/8).

“Keindahan alam Indonesia yang memikat memberikan peluang pesatnya perkembangan sektor pariwisata di Indonesia,” tambahnya lagi.

Sebagaimana diketahui, perkembangan sumbangan Devisa Negara dari sektor pariwisata di Indonesia berdasarkan sumber infografis Kementerian Pariwisata dalam kurun waktu 5 tahun mulai 2014 sampai 2019 mencapai 17,1 M US$ dengan peningkatan berkisar 1 M US$ per tahunnya.

Faktanya, nilai devisa ini masih belum menggembirakan dibandingkan dengan negara asia lain. Khususnya negara yang memperoleh investasi asing langsung. Supaya mampu bersaing dengan negara lain.

Prof. R. Benny Riyanto menuturkan, bahwa Indonesia diharapkan dapat mengatasi tantangan di antaranya tumpang tindih peraturan. Juga tumpang tindih kewenangan perwilayahan antar berbagai elemen pemerintahan beserta kebijakannya.

“Seperti permasalahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan terkait sektor kepariwisataan di Indonesia dalam hal investasi usaha pariwisata,” tuturnya.

Seperti dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terkait kewenangan pemberian izin perusahaan penanaman modal, yang dapat diperoleh dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Sementara itu, PP 24 Tahun 2018 pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui lembaga  Online Single Submission (OSS).

Adapun mengenai batasan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007.

“Pembagian kewenangan dalam kebijakan tersebut, hanya terfokus ke pembagian wilayah penyelenggaraan penanaman modal. Dan tidak menjelaskan kewenangan aspek-aspek dalam investasi lainnya,” ujar Kepala BPHN Prof. R. Benny Riyanto menjelaskan.

Lalu ketimpangan kebijakan terkait Hak Guna Bangunan, yakni UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960 pasal 35 disebutkan, bahwa Hak Guna Bangunan memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Sedangkan dalam UU No. 25 Tahun 2007 pasal 22 disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 Tahun (50 tahun diberikan dan diperpanjang secara langsung dan dapat diperbaharui selama 30 tahun).

“Beberapa hal tersebut yang menjadi dasar BPHN untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Kepariwisataan di Badan Pembinaan Hukum Nasional,” ucap Prof. Benny Riyanto.

Penyelarasan Regulasi Sektor Pariwasata Acuan Investor

Sejalan dengan pendapat tersebut, Desma Center organisasi yang konsern akan sektor pariwisata senada dengan BPHN. Bahwa dibutuhkan sosialisasi dan kordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan untuk menyelaraskan kebijakan investasi khususnya sektor pariwisata.

Founder dan Director Desma Center Wiwik Mahdayani menjelaskan, bahwa batasan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota belum diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007.

Pembagian kewenangan dalam kebijakan tersebut, hanya terfokus ke pembagian wilayah penyelenggaraan penanaman modal, tidak menjelaskan kewenangan aspek-aspek dalam investasi lainnya seperti ekspor impor, perizinan, pemasaran, hubungan kerjasama baik dengan dalam dan luar negeri.

“Oleh karena itu perlu diperjelas kebijakan perwilayahan secara komprehensif sebagai acuan investor,” ungkap Wiwik Mahdayanim dalam Forum Grup Diskusi virtual bersama Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum terkait kepariwisataan, Kamis 27 Agustus kemarin.

Selain soal belum selarasnya regulasi kebijakan investasi khususnya sektor pariwisata. Sektor pariwisata dihadapkan juga dengan serentetan ancaman dampak dari Pandemi Covid-19.

Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, M. Yusran berpendapat, bahwa di tengah tantangan dihadapi sekarang ini. Menurutnya, tak menampik juga potensi hilangnya devisa, potensi hilangnya pajak dan retribusi daerah, serta PHK.

Meski begitu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia berupaya optimis geliat pertumbuhan sektor pariwisata untuk terus bertumbuh. “Didukung dengan regulasi pemerintah yang baik,” ujarnya.

“Telah lahir tantangan baru yaitu tantangan adaptasi normal baru di sektor pariwisata. Konsistensi terhadap penerapan dan pengawasan protokol kesehatan menjadi kunci penting,” tambahnya lagi.

Unduh Siaran Pers: BPHN Sorot Tumpang Tindih Regulasi Sektor Kepariwisataan di Indonesia

2020 08 31 BPHNPariwisata2

logo besar kuning
 
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA
PikPng.com school icon png 2780725    JL. Rasuna Said Kav 6-7 Kuningan
 Jakarta Selatan, DKI Jakarta - 12940
PikPng.com phone icon png 604605   021 - 5253004
PikPng.com email png 581646   Email Kehumasan
    rohumas@kemenkumham.go.id
PikPng.com email png 581646   Email Pengaduan
    pengaduan.setjen@kemenkumham.go.id

 

facebook kemenkumham   twitter kemenkumham   instagram kemenkumham   linked in kemenkumham   Youtube kemenkumham   rss kemenkumham