Jakarta - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) unit kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyusun buku “Panduan Penyusunan Hasil Kegiatan Penyuluhan Hukum”.
Hal itu juga terkait peran penyebarluasan informasi dan pemahamam terhadap norma hukum dilakukan oleh Jabatan Fungsional (JF) Penyuluh Hukum di masyarakat. Demi menciptakan budaya hukum yang tertib dan taat atau patuh pada norma hukum. Juga tegaknya supermasi hukum.
Kepala BPHN Prof R. Benny Riyanto menjelaskan, bahwa buku panduan tersebut pedoman JF penyuluh hukum dalam mendokumentasikan kegiatan penyuluhan hukum yang telah dilakukan di masyarakat.
Juga untuk keperluan penilaian angka kredit para penyuluh hukum. Sehingga terdapat keseragaman dari segi kualitas serta memudahkan tata laksana pendokumentasian.
“Penyuluhan hukum bertugas penting untuk melakukan peningkatan kesadaran hukum di masyarakat melalui kegiatan penyuluhan hukum,” jelasnya, dalam acara online dan launching buku Panduan Penyusunan Hasil Kegiatan Penyuluhan Hukum, Senin (11/5) melalui sambungan telekonferensi diikuti Penyuluh Hukum se-Indonesia.
Selain itu, BPHN selaku instansi pembina JF Penyuluh Hukum, BPHN memiliki tanggung jawab melakukan penyusunan regulasi di bidang penyuluhan hukum, pengembangan kompetensi, dan pembinaan JF Penyuluh Hukum.
Namun demikian, masih ditemukan JF Penyuluh Hukum yang belum memahami dan menguasai aturan di dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Hukum dan Angka Kreditnya.
“Serta peraturan di bidang penyuluhan hukum lainnya,” ucap Kepala BPHN Prof. Benny Riyanto.
BPHN menemukan beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan dalam penyuluhan nukum. Prof. Benny Riyanto mengungkapkan di antaranya adanya ketidaksesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan tugas. Sehingga terjadi tumpang tindih pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan tanpa berkoordinasi dengan pimpinan, serta penyusunan laporan kegiatan yang sebatas mengejar syarat pemenuhan angka kredit.
Sebagai contoh, ditemukan kegiatan penyuluhan hukum yang seharusnya diperuntukkan bagi JF Penyuluh Hukum Pertama. Tetapi dilaksanakan oleh JF Penyuluh Hukum Madya.
Padahal JF Penyuluh Hukum Madya tidak lagi melaksanakan kegiatan lapangan. Melainkan lebih kepada kajian kebijakan maupun konsep pengembangan hukum. “Mari sama-sama berangkat pada aturan yang benar. Tidak lagi sekedar mencari angka kredit, tetapi apa yang bisa kita perbuat untuk negara, apa yang bisa kita berikan untuk pemerintah, apa yang bisa kita tunjukan ke masyarakat,” ungkapnya.
“Tunjukkan prestasi, berani berkata benar dan hati-hati dalam bertindak. Saat ini, ada kecenderungan masyarakat mudah terprovokasi. JF Penyuluh Hukum berani harus tampil di depan, meluruskan dan sampaikan informasi yang benar. Terwujudnya kesadaran hukum masyarakat akan menciptakan budaya hukum. Tolok ukurnya masyarakat menjadi tertib, taat dan patuh terhadap hukum,” tambahnya lagi.
Pembagian Wilayah Kerja JF Penyuluh Hukum
BPHN sudah melakukan pembinaan terhadap 451 JF Penyuluh Hukum dari hasil inpassing sebanyak empat kali saat ini. Jumlah tersebut belum ditambahkan dari hasil inpassing tahun 2019 dan penyetaraan tahun ini, dengan jenjang pangkat mulai dari Penyuluh Hukum Ahli Pertama hingga Penyuluh Hukum Ahli Madya.
BPHN juga berencana membuka untuk jenjang Penyuluh Hukum Ahli Utama. Namun masih menunggu beberapa ketentuan. Seperti melihat jumlah JF Penyuluh Hukum yang mengalami peningkatan dari segi tren.
Maka diperlukan upaya strategis untuk memastikan kualitas JF Penyuluh Hukum. Yakni dengan pembagian wilayah kerja penilaian angka kredit. “Kedepan penilaian angka kredit terbagi menjadi enam wilayah kerja yang selanjutnya menjadi Tim Pembina Wilayah Kerja dalam rangka pelaksanaan pembinaan secara berkesinambungan. Sehingga tujuan mewujudkan penyuluh hukum yang profesional dan berkualitas dapat terlaksana dengan baik,” kata Kepala BPHN. Sementara itu, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN Kartiko Nurintias menambahkan, bahwa dibentuknya wilayah kerja akan memudahkan koordinasi bagi JF Penyuluh Hukum yang mengajukan penilaian angka kredit.
Selain itu, pembagian wilayah kerja ini, diharapkan akan menciptakan perencanaan yang matang terhadap pembinaan JF Penyuluh Hukum baik di pusat ataupun di daerah.
Selain itu, tim penilai ini bekerja selama satu periode, yakni tiga tahun dan tidak seperti sebelumnya yang mana setiap tahun berganti formasi. “Saya mengharapkan Tim Penilai Angka Kredit solid, berkualitas dan punya kompetensi handal. Tim Penilai harus profesional, menjadi contoh dan integritasnya dipertaruhkan,” ujar Kartiko. Dalam waktu dekat, BPHN berharap kebijakan pembagian enam wilayah kerja ini dapat dieksekusi. Wilayah Kerja I (Aceh, Sumut, Kepri, Sumbar, Bangka Belitung), Wilayah Kerja II (Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, DKI Jakarta, Jabar), Wilayah Kerja III (Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kalbar, Kalsel), Wilayah Kerja IV (Kalteng, Kaltim, Sulut, Gorontalo, Sulteng, Sulbar, Sulteng), Wilayah Kerja V (Sulsel, NTT, NTB, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat), dan Wilayah Kerja VI (Unit Eselon I Kemenkumham, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian/Lembaga lain di luar Kemenkumham). Kartiko Nurintias melanjutkan, bahwa pembagian wilayah kerja menjadi pintu masuk pola pembinaan yang berkesinambungan. Sehingga pimpinan di pusat maupun di daerah bisa memonitor penyuluhan hukum se-Indonesia.
“Kegiatan yang dilaksanakan oleh JF Penyuluh Hukum,” lanjutnya.
Download Siaran Pers: "BPHN Luncurkan Buku Panduan Penyusunan Penyuluhan Hukum se-Indonesia"