Menkumham Amir Syamsudin (ke dua dari kiri), dan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Muhammad Saleh menyaksikan pemukulan gong oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar pada saat pembukaan Seminar dan Sosialisasi dalam rangka Peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2014, Rabu (10/09/2014). |
Jakarta - Pada bulan Agustus tahun 2014 ini, Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak (SPPA) telah mulai berlaku. Undang-undang tersebut merupakan sebuah kemajuan yang besar di bidang hukum yang memberikan perhatian kepada anak Indonesia, dan merupakan produk hukum yang membawa paradigma baru.
Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional dan berlakunya Undang-undang SPPA tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dan Mahkamah Agung (MA) mengadakan seminar dengan tema Peran Penegak Hukum dalam Pelaksanaan Undang-undang SPPA, dan Sosialisasi Gerakan Nasional Anti Kejahatan Terhadap Anak di Graha Pengayoman, Gedung Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Jakarta, Rabu (10/09/2014).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin dalam sambutannya, yang dibacakan oleh Staf Ahli Bidang Pengembangan Budaya Hukum Suhariyono mengatakan, kunci utama pembaharuan dalam Undang-Undang SPPA adalah pergeseran paradigma dari retributif atau lex talionis, menjadi paradigma restorative, yang intinya adalah pemulihan.
“Penyembuhan (healing) dari luka yang diakibatkan oleh tindak pidana, khususnya yang dilakukan oleh anak. Implementasi paradigma tersebut dilakukan melalui Diversi, yang pada dasarnya mengupayakan agar semaksimal mungkin Anak yang melakukan tindak pidana diproses di luar sistem peradilan pidana,” Ujar Suhariyono.
Sementara itu, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan. “Karena paradigma perlindungan dan restorasi ini, maka perampasan kemerdekaan dan pemidanaan harus menjadi pilihan terakhir dalam penanganan hukum pada anak, yang berhadapan dengan hukum,” kata Linda Gumelar.
Senada dengan Linda Gumelar, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Muhammad Saleh menerangkan, dengan diberlakukannya Undang-Undang SPPA, pidana atau penjara menjadi upaya terakhir yang diambil dalam kasus peradilan pidana anak. “Meskipun penjara harus dilakukan, akan tetapi lamanya hukuman penjara harus singkat. Diversi yang merupakan alat restorative justice, yakni dialog, musyawarah untuk mufakat harus menjadi pilihan utama,” tandas Muhammad Saleh.
Acara seminar dan sosialisasi ini diikuti oleh para pengegak hukum, yakni, hakim, jaksa, polisi, pengacara, akademisi, serta pegawai dari kementerian atau lembaga yang terkait seperti Kemenkumham, Kementerian Sosial, Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Nasional Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan KPPPA. Pada acara ini juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kemenkumham, Ambeg Paramarta, dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Harkristuti Harkrisnowo. (Sarah, Prapti. Dok: Zeqi. Ed: Zaka)