Jakarta - Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2022 diharapkan mampu menjadi pemicu untuk dapat menarik anak keturunan Indonesia, agar berkontribusi pada negara sebagai warga negara Indonesia (WNI).
PP yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia ini mempermudah permohonan status WNI, khususnya bagi anak-anak yang memiliki potensi besar yang dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam beberapa kesempatan bahkan sering kali memberikan perhatian penuh dengan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, termasuk bagi anak-anak yang memiliki keturunan Indonesia.
“Presiden selalu menekankan pentingnya kualitas SDM yang unggul untuk memajukan Indonesia,” kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Cahyo R. Muzhar saat menjadi pembicara dalam Diskusi Teknis Layanan Kewarganegaraan.
SDM yang unggul, lanjut Cahyo, merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing global, salah satunya di bidang ekonomi. Hal tersebut sejalan pula dengan komitmen nyata pemerintah untuk mendorong penguatan SDM dan perekonomian nasional.
Mengutip pernyataan presiden, Cahyo mengatakan bahwa up-skilling dan re-skilling menjadi hal yang sangat penting bagi SDM Indonesia agar mampu produktif dan dapat bangkit dari kondisi pasca pandemi ini.
“Selain itu, pemerintah juga terus berupaya untuk menyusun kebijakan sebagai bagian dari reformasi di bidang hukum yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat. Termasuk kebijakan dalam perolehan status kewarganegaraan,” kata Cahyo, Rabu (31/08/2022) siang.
Sebagai bagian dari masyarakat dan komunitas global, tentunya regulasi dan kebijakan Indonesia dalam bidang status kewarganegaraan, harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal dalam kewarganegaraan, yaitu menghindari kondisi tanpa kewarganegaraan (stateless).
“Terlebih, Indonesia sebagai negara yang menganut asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, dan hanya mengenal kewarganegaraan ganda secara terbatas,” ujar Cahyo.
“Maka pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal AHU Kemenkumham perlu menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan-kebijakan terkait kewarganegaraan yang tetap mengakomodir asas-asas tersebut,” tutupnya. (Tedy, foto: Ismail)