Jakarta - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O. S. Hiariej menegaskan bahwa pemerintah serius dalam melakukan pembahasan terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi diperlukan pengkajian yang lebih dalam. Hal ini disampaikan Wamenkum pada kegiatan Media Gathering Kementerian Hukum Republik Indonesia (Kemenkum RI).
“RUU Perampasan Aset ini memang perlu dikaji secara mendalam. Karena ada hal baru dalam RUU tersebut yaitu mengenal konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.” Ujar Wamenkum yang sering disapa Eddy di Selasar Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Jakarta, Rabu (04/12/24).
Eddy menjelaskan, bahwa konsep pada Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan hal yang baru bagi Indonesia, sehingga perlu dikaji secara mendalam dan seksama. Konsep ini diperkenalkan secara resmi melalui United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Titik berat dalam perampasan aset yang perlu pembahasan panjang dan perlu dikaji adalah bagaimana hukum acaranya.
“Saya pribadi melihat bahwa ketika kita bicara tentang perampasan aset, seharusnya kita merujuk pada UNCAC yang itu tidak bisa dilihat secara parsial. Karena hal tersebut merupakan satu kesatuan,” terang Eddy kepada awak media.
Guru besar bidang Hukum Pidana Universitas Gajah Mada ini lebih lanjut menyampaikan, Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006. Eddy pun memaparkan bahwa terdapat 3 tujuan dari UNCAC yaitu bagaimana membasmi kejahatan korupsi dengan efektif dan efisien, kerja sama internasional dan asset recovery. Terkait tujuan UNCAC tersebut, menurutnya, asset recovery tidak bisa diterjemahkan sebagai perampasan aset, tetapi pemulihan aset. Asset recovery berorientasi tidak hanya pada follow the suspect tetapi juga follow the money.
“Aset recovery ini diterjemahkan sebagai pemulihan aset, bukan perampasan aset,” kata Eddy.
Wamenkum juga memaparkan, bahwa Indonesia sebenarnya sudah melaksanakan praktek perampasan aset sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) tidak pidana korupsi pada tahun 1964, hingga yang terakhir UU No 20 tahun 2021.
“Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian, ini pun sudah melakukan perampasan aset meskipun masih didasarkan pada Conviction Based Asset Forfeiture. Jadi, dia melakukan perampasan aset berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” tandas Eddy.
RUU Perampasan Aset sendiri sudah masuk di dalam Prolegnas tahun 2025-2029. Hal ini menunjukan kesungguhan Pemerintah bersama DPR untuk mengkaji RUU ini.