Tangerang - Untuk mendukung kepastian Hukum, Pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan HAM terus mendorong agar Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata internasional. Selain memberikan kepastian hukum Penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) dilakukan sebagai upaya pembaruan produk hukum perdata internasional Indonesia yang saat ini masih menggunakan warisan kolonial. Ini sesuai dengan misi pembangunan nasional yang termuat di dalam RJP 2005–2025 yaitu pembangunan hukum nasional berfokus pada kelanjutan pembaruan produk hukum dalam rangka menggantikan Peraturan Perundang-undangan, agar dapat mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia.
“Oleh karena itu, untuk mendukung misi tersebut, Kementerian Hukum dan HAM sejak tahun 2014 telah membahas serius pembentukan Naskah Akademik Undang-Undang Hukum Perdata Internasional ini,” jelas Azharuddin, Plt. Kepala Subdirektorat Hukum Internasional Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, dalam pembukaan kegiatan Konsinyasi Hukum Perdata Internasional di Hotel Aviary Bintaro, Jumat (22/11/2019).
Dalam Naskah Akademik tahun 2014, sudah terangkum beberapa temuan permasalahan dalam hukum perdata internasional, diantaranya permasalahan dan akibat hukum yang timbul dalam perkawinan campuran, seperti pembatalan perkawinan, kekayaan dalam perkawinan, child abduction, adopsi dan warisan. Kemudian, Naskah Akademik ini disempurnakan kembali pada tahun 2018 dan 2019 dengan mengkaji lebih dalam terkait isu status personal dan badan hukum, perjanjian dalam perkawinan, pemisahan harta, dan isu pelaksanaan putusan hakim dalam hukum acara perdata internasional.
Saat ini, terkait HPI, Indonesia masih memberlakukan peraturan yang diberlakukan oleh Pemerintah Belanda pada masa penjajahan untuk penyelesaian perkara keperdataan yang mengandung unsur asing, antara lain peraturan Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesische (AB) pasal 16, 17 dan 18 AB yang merupakan pasal utama untuk menentukan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam penetapan status personal, status kebendaan dan perbuatan hukum yang bersifat transnasional.
“Keberadaan RUU HPI dihubungkan dengan peraturan HPI dalam peraturan perundang-undangan yang lain merupakan hubungan yang saling melengkapi, dimana UU HPI bisa mengisi kekosongan aturan HPI di peraturan perundang-undangan sektoral. RUU HPI pun menjadi rujukan utama jika terdapat sengketa yang belum jelas pilihan hukum dan forum bagi subjek hukum Indonesia dan asing. Oleh karena itu, hal ini perlu dituangkan dalam undang-undang sebagai upaya melindungi warga negara Indonesia,” ucap Azharuddin menutup sambutannya.
Kegiatan konsinyasi penyusunan RUU HPI berlanjut selama 3 hari dan menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi, akademisi, maupun birokrasi. Azharuddin berharap forum diskusi publik ini dapat memberikan manfaat, khususnya menghasilkan pandangan tentang kasus-kasus transnasional yang belum dapat diselesaikan dengan UU HPI warisan kolonial, serta konsekuensi yang terjadi jika program pemerintah RJP 2005-2025 untuk mengganti UU HPI ini tidak terwujud. (Ria, Riri)